"Aku masih tidak menyangka kau memilih tempat ini."
"Jangan protes. Kau sudah setuju."
Oliver memasang tampang kalah, lalu menyesap birnya.
Aku mengamati sekeliling. Bar itu lumayan bising dan ramai. Puluhan tubuh serempak bergerak mengikuti irama musik beat yang diputar. Semakin malam, jumlah pengunjung yang hadir justru semakin banyak. Kehadiran mereka menambah aura 'bersenang-senang' yang seolah juga memancar dari warna-warni lampu disko. Sementara di meja bar, puluhan gelas, sloki, dan botol minuman keras berjajar, memamerkan cairan sebening kristal yang siap ditukar dengan kesadaran, bahkan akal sehatmu. Karena itulah aku memutuskan datang kemari.
"Tambah satu pitcher lagi." pintaku pada bartender.
"Kau baru saja menghabiskan gelas ke enammu, Alice." Oliver mengingatkan. Nadanya jelas-jelas tidak setuju.
"Memangnya kenapa? Kau ini kelas ringan ya?"
Bartender meletakkan pesananku di meja, satu pitcher margarita. Tanganku terulur hendak meraihnya, tetapi Oliver merampasnya dariku.
"What the f―"
Oliver menyeringai. "Kukira kau tak pernah mengumpat?"
Aku memutar bola mata dan membuang muka.
"Apa kau baru saja memutar mata di depanku, Miss?" tantang Oliver.
Aku kembali menghadapnya dan memutar bola mata dengan sengaja.
Oliver tersenyum tipis. Mungkin itu hanya tipuan cahaya, tetapi kukira aku sempat melihat matanya berkilat misterius. Rahangnya mengeras, seolah ia sedang berusaha keras menahan diri.
Aku mengabaikan pikiran itu, dan melompat turun dari kursiku, sedikit terhuyung namun Oliver dengan sigap menangkap lenganku.
"Mau dansa? Aku penari yang payah tapi."
"Aku bahkan tidak yakin kau bisa berdiri dengan benar." komentarnya.
"Kau ini membosankan sekali!" celaku. Kutepis tangannya dariku dan tetap melenggang menjauh.
Kulihat seorang pemuda berotot duduk sendirian di dekat lantai dansa. Aku memberi lirikan singkat pada Oliver sebelum menghampiri si pemuda dan mengaktifkan flirting mode-ku.
Sengaja kukibaskan rambutku supaya leherku terlihat jelas, kemudian memasang senyum menggoda saat aku tiba di hadapannya.
"Hai, Bung. Mau dansa?" ajakku tanpa basa-basi.
Pemuda itu menyeringai, lalu bangkit dari mejanya. "Dengan senang hati, Seksi."
Oliver memandangku, campuran antara kesal dan tak percaya. Aku memberinya kedipan mengejek.
Di bawah pendar lampu warna-warni, aku membiarkan irama musik menuntun gerakanku. Otakku tak lagi ingin memusingkan pendapat orang lain. Tidak ada benar dan salah di tempat ini. Hanya ada kebebasan.
"Apa kau bersenang-senang, Sayang?" si Pemuda asing bertanya. Napasnya hangat di telingaku sementara tangannya menarikku mendekat.
"Sudah pasti."
"Kau sangat cantik, kau tahu. Dan bibir merahmu― aku bertanya-tanya apa yang bisa kau lakukan dengannya." rayunya.
"Kau akan terkejut. Bibir ini berbahaya." balasku.
Seringainya semakin lebar. "Aku ingin tahu."
Ia memegang daguku dengan salah satu tangan, bersiap menciumku. Aku mundur selangkah― pasti sudah terjatuh seandainya tangannya yang lain tidak menangkap pinggangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...