Aku tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kantuk masih enggan menyerangku. Mata cokelat itu terus menghantuiku. Setiap kali aku memejamkan mata, hanya wajahnya-lah yang kulihat.
Aku mengerang frustasi dan memilih duduk di atas tempat tidur. Kejadian-kejadian hari ini membanjiri pikiranku. Ada beberapa hal yang membuatku malu untuk mengingatnya, terutama saat aku mengungkapkan perasaanku di depan semua orang. Entah ke mana perginya harga diriku saat itu. Tapi ada hal lain yang berhasil membuat kupu-kupu di perutku rasanya seperti berterbangan. Perasaan tertekan, sedih, gelisah atau apapun yang kurasakan selama berhari-hari terakhir juga sudah mereda sekarang.
Tiba-tiba teleponku berbunyi dan seketika aku mengernyit ketika melihat nomor tak dikenal. Siapa yang begitu kurang kerjaannya meneleponku selarut ini? Awas saja kalau tidak penting.
Kutekan tombol hijau dan menjawab dengan setengah kesal. "Halo?"
"Apa aku membangunkanmu?" Sebuah suara familier menjawab. Aku terperanjat hingga menjatuhkan ponselku.
Itu suaranya...cowok yang terus mengganggu pikiranku selama berhari-hari terakhir dan membuatku tidak bisa tidur malam ini. Cowok yang membuatku nyaris gila dalam arti sebenarnya. Dan cowok yang tanpanya membuatku merasa seperti kehilangan gravitasi beberapa hari terakhir.
"Eric?" kataku saat akhirnya bisa bersuara. Jantungku berdebar-debar luar biasa. Aku seperti bisa membayangkan ia sedang tersenyum di seberang sana setelah mendengar suaraku yang bergetar karena gugup.
"Kau belum tidur?" tanyanya.
"Eh... belum."
"Kenapa?"
Aku menggigit bibir. "Aku tidak bisa tidur."
Kali ini Eric benar-benar tertawa. "Aku juga. Dan itu salahmu."
Pipiku bersemu merah. Syukurlah ia tidak bisa melihatnya.
Karena aku diam saja, Eric melanjutkan. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku...hanya sedang duduk-duduk saja." jawabku jujur.
"Maukah kau menemaniku ngobrol?"
"Baiklah." Tidak ada hal lain yang bisa kukatakan.
"Well, kalau begitu bisa tolong bukakan pintumu?" pinta Eric.
Keningku berkerut bingung. "Maksudnya?"
Eric tertawa lagi. "Aku ada di depan rumahmu, Alice."
Begitu ia selesai mengatakannya, aku langsung melompat dari tempat tidur dan berlari ke jendela. Saat menengok ke bawah, kulihat mobil merah Eric terparkir tepat di depan halamanku, dan ia melambai padaku dari kursi pengemudi.
Senyuman tidak percaya tanpa sengaja mengembang di wajahku. Aku buru-buru keluar dari kamar dan berlari ke lantai satu. Tanganku sedikit gemetar saat memasukkan kunci pintu, tapi akhirnya berhasil membukanya.
Eric tampak berdiri di sana, tersenyum menungguku. Dan seketika kegelisahanku menghilang begitu saja, seolah aku bisa merasakan kembali kehangatan setelah selama ini dilingkupi kedinginan. Aku merasa lengkap, seolah hal lain di luar aku dan dia sama sekali tidak penting lagi.
"Boleh aku masuk?" tanyanya.
Aku mengerjap, berusaha mengembalikan pikiranku dari lamunan yang sempat mencuri kesadaranku, kemudian menyingkir untuk membiarkannya masuk.
Eric berjalan melewatiku dan duduk di sofa. Aku mengikutinya, duduk di sofa yang sama, tetapi menempati ujung yang terjauh. Debaran jantungku masih tidak karuan, dan aku tidak ingin ia terlalu dekat untuk bisa mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...