Aku terbangun dengan suasana hati jauh lebih baik dari biasanya. Bahkan kepalaku tetap ringan saat berusaha membayangkan mimpi-mimpi yang detailnya mulai kabur. Senyuman puas tak sengaja terlepas dari bibirku saat aku berusaha berguling menyamping. Bahkan seandainya peristiwa semalam hanya mimpi, aku lebih suka tidak bangun sekarang.
Aku meraih ponselku di atas nakas-- berharap menerima pesan dari Marcel atau apapun yang menandakan bahwa semalam bukanlah mimpi. Tapi tidak ada apa-apa. Justru jam di ponselku-lah yang berhasil membuatku langsung terduduk tegak di tempat tidur. Sudah pukul 08.15, padahal kuliahku pagi ini dimulai pukul 08.50.
Tanpa berpikir lagi, aku segera bangkit-- beberapa kali menyeberangi ruangan untuk mencari pakaian dan alat mandiku. Hanya tiga puluh lima menit waktu yang kupunya untuk bersiap-siap. Itupun harus dikurangi sepuluh menit untuk mencari taksi. Kuharap keberuntungan menyertaiku kali ini-- meskipun itu jarang terjadi.
Setengah jam kemudian, aku sudah siap dengan tasku. Langkahku yang terburu-buru membuat kakiku sempat tersandung meja, tapi aku harus tetap bergerak atau Profesor Dippet akan membunuhku jika sampai terlambat.
Kehadiran seseorang yang tak kuduga membuatku nyaris terkena serangan jantung begitu aku menutup pintu. Marcel bersandar di pintu mobilnya, tampak seperti model dalam majalah pria mutakhir. Sejenak ia menatapku dengan tatapan aneh, sesaat kemudian ia menyunggingkan senyum separo.
"Kau seperti baru saja melihat hantu. Apakah tampangku seseram itu? Kupikir aku sudah cukup keren hari ini."
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. "Maaf, Marcel. Aku sangat terburu-buru."
"Baiklah, kalau begitu kita segera berangkat." Ia membukakan pintu penumpang untukku.
Aku masuk ke mobilnya dengan kening berkerut heran. Terlepas dari bencana pagi ini, aku merasa lega ia ada di sini.
"Terima kasih, Marcel, untuk repot-repot menjemputku." ujarku saat Marcel sudah melaju dengan kecepatan cukup tinggi.
"Aku sudah menunggumu sejak tadi, siapa tahu kuliahmu mulai pukul delapan. Tapi kau tidak muncul juga." Kuliah terpagi kampus kami memang dimulai pukul delapan.
"Tapi kau tidak meneleponku? Aku tidak tahu kau akan menunggu." ungkapku jujur. Entah apa yang harus kurasakan sekarang, tersanjung atau bersalah.
Marcel nyengir santai. "Nanti tidak jadi kejutan."
Aku menatapnya tidak percaya. "Bagaimana dengan kuliahmu?"
"Tenang, Alice. Aku masuk siang hari ini." ujarnya. "Kenapa kau terburu-buru seperti ini?"
"Aku bangun kesiangan." jawabku sambil menunduk. Dalam hati aku berharap bisa menemukan alasan yang lebih anggun dari ini.
"Memang ada apa dengan jadwal tidurmu semalam?"
"Aku tidak bisa tidur." jawabku spontan dan seketika menyesalinya. Wajahku memanas saat kulihat sudut bibir Marcel membentuk senyuman geli.
Aku tahu persis apa yang sedang ia pikirkan. Ia pasti sudah bisa menebak alasan dibalik insomniaku adalah ciumannya. Itulah sebabnya ia tampak percaya diri sekali.
Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Saat itu juga bersyukur karena kami sudah sampai di halaman kampus. Marcel menghentikan mobilnya dan aku merasakan tatapannya di wajahku. Mau tak mau aku menoleh dan senyum malaikat itu menyambutku.
"Kuharap ciumanku tidak akan mengganggu pikiranmu, karena aku akan merasa sangat bersalah jika yang terjadi justru sebaliknya."
Aku tak bisa memberikan respons lebih dari sekedar senyum bego yang tergambar di wajahku sekarang. Marcel tertawa, kemudian mengacak rambutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Lãng mạn"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...