Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan tenang. Aku sibuk dengan ujian semesterku, sementara Marcel mulai magang di perusahaan ayahnya sambil menyusun skripsi. Sangat mengagumkan bahwa ia bisa lulus lebih cepat, tapi dengan otak sebrilian dia, kurasa aku tidak terlalu terkejut. Dia juga akan mendapatkan posisi lumayan di perusahaan ayahnya setelah lulus nanti. Marcel kelihatan sangat antusias saat mengajakku ke ruangan barunya di kantor beberapa hari yang lalu dan aku ikut senang karenanya.
Aku merasakan senyum lega terukir di bibirku saat ujian terakhirku selesai. Aku menoleh ke arah Julie dan ia balas nyengir, tampak sangat puas dan bersemangat, entah karena kami akan segera libur— meskipun hanya untuk waktu yang singkat, atau mungkin karena ia sudah memiliki rencana dengan Eric.
Aku pulang dengan suasana hati sangat baik. Tidak ada hal spesifik yang ingin kulakukan di flat, tapi aku hanya ingin segera melarikan diri dari ujian yang baru saja kuhadapi. Mungkin aku akan membaca novel atau menelepon Marcel.
Begitu tiba di flat, aku mendapati sebuah bungkusan dengan namaku di atasnya. Buru-buru aku membawanya ke dalam. Aku membukanya dan menemukan sepasang wedges cantik berwarna putih. Diatasnya terdapat amplop berwarna gading dan sebuah catatan kecil.
Kau harus berlatih memakai sepatu ini sejak sekarang sebelum memakai yang lebih tinggi dan runcing di pernikahanku nanti. Ashley dan aku sudah menyiapkan semua keperluanmu di sini. Cepat pulang dan sampai ketemu...
Salam sayang,
George Dyncer
NB:
Mom menitipkan undangan untuk keluarga Lawson.
Tanpa sadar aku tersenyum. Kesibukanku menghadapi ujian beberapa minggu terakhir membuatku sejenak lupa dengan pernikahan kakakku yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Sekarang aku tidak perlu memikirkan hal yang lain. Kenyataan bahwa aku akan segera pulang ke Seattle membuatku lebih bersemangat. Kuraih teleponku dan segera memesan tiket penerbangan.
***
Aku sedang dalam perjalanan ke bandara dan memberanikan diri memakai sepatu pemberian George. Syukurlah barang bawaanku tidak terlalu banyak, jadi aku tidak terlalu kesulitan menyeret koper dengan sepatu setinggi delapan senti ini.
Sebelum turun dari taksi, kuperiksa ponselku sekali lagi dan membaca pesan dari Marcel. Ia mengucapkan semoga penerbanganku menyenangkan dan aku balas mengucapkan semoga sukses dengan pekerjaannya. Sayang sekali ia tidak bisa ikut, tapi aku bisa mengerti kesibukannya.
Aku langsung menuju ke departure gate berhubung penerbanganku tinggal menunggu kurang dari satu jam lagi. Langkahku terhenti tiba-tiba saat melihat seseorang yang kukenal berdiri di sana.
"Sedang apa kau di sini?" tanyaku, mengernyit bingung.
Eric melepas kaca mata hitamnya dan tersenyum santai. "Orang tuaku tidak bisa datang karena pekerjaan mereka dan Marcel juga sibuk, jadi mereka mengirimku."
Aku benar-benar bengong sekarang. "Kenapa kau tidak bilang padaku sejak awal— dan bagaimana kau tahu kalau aku berangkat hari ini?"
"Marcel yang memberitahuku." jawabnya.
Aku memejamkan mata dan menghela napas panjang, memutuskan bahwa tidak ada gunanya mengomel lagi. Toh Eric sudah terlanjur membuang uangnya untuk membeli tiket dan ia datang dengan maksud baik. Lagipula, kecil kemungkinan ia mendapat tempat duduk di dekatku selama penerbangan nanti, jadi aku tidak perlu terlalu khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...