Pertunjukan musik baru akan dimulai sekitar setengah jam lagi, jadi aku dan Oliver berencana mampir ke ruang tunggu sebelum masuk ke teater utama.
"Aku mau ke toilet sebentar. Kau duluan saja." kata Oliver ketika kami sudah setengah jalan menuju ruang tunggu. Baru beberapa langkah, ia berbalik. "Jangan sampai tersesat, oke?"
Aku tertawa. "Sudahlah, pergi sana!"
Oliver nyengir, lalu pergi ke arah yang berlawanan denganku.
Dengan ragu, aku melanjutkan langkah seorang diri. Di sekelilingku, para elit menyebar dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang. Obrolan mereka bernada rendah, sesekali diselingi tawa riang khas bangsawan. Tak ada yang benar-benar memperhatikan ketika aku berlalu, mungkin karena sedikit pun aku tak terlihat seperti mereka.
Untuk ke sekian kalinya dalam acara serupa, aku merasa salah tempat. Kukira menonton pertunjukan musik tak akan banyak berbeda dari menonton bioskop. Kau hanya tinggal membeli tiket, menunggu waktunya teater dibuka, lalu menonton dengan santai. Habis cerita. Tak kusangka untuk menghadiri acara semacam ini aku perlu melibatkan sedikit kemewahan dan sandiwara, yang mana keduanya sangat bukan diriku.
Aku melanjutkan langkah, membelah kerumunan. Sebuah papan penanda menunjukkan arah yang hendak kutuju, sehingga aku tak perlu repot-repot bertanya. Setibanya di sana, aku mendesah tanpa sadar.
Ruang tunggu eksekutif itu cukup ramai. Di tengah ruangan, berjajar meja-meja panjang dengan tudung warna pastel, dipenuhi berbagai jenis kue dan minuman. Sementara itu, puluhan kursi disusun rapi melingkari meja-meja bundar bertudung senada di kanan dan kiri ruangan. Rangkaian bunga mawar pink dan pita-pita transparan menghiasi setiap sudutnya.
Rasanya seperti sedang menghadiri sebuah pesta perjamuan istimewa, bukannya pertunjukan musik― kecuali tempat ini memang telah dipesan. Dan dugaanku seolah dibenarkan oleh sebuah pahatan dari es yang menghiasi bagian tengah meja, bertuliskan 'Welcome Back, Georgia Rose'. Kusimpulkan, siapapun yang mengadakan acara ini pastilah memiliki hubungan dekat dengan si penyanyi.
Aku mendekati meja cocktail. Aroma harum croissant ikut menggoda penciumanku dari meja sebelah, tapi aku memutuskan akan menunggu Oliver saja sebelum makan sesuatu. Tanganku terulur hendak meraih segelas cocktail ketika aku menyadari seseorang juga bermaksud mengambil gelas yang sama.
Aku mendongak, dan saat itu juga jantungku seolah berhenti berdetak.
Bahkan dalam mimpi pun aku tak pernah membayangkan bahwa kami akan bertemu lagi dengan cara seperti ini, di tempat ini, detik ini.
Tapi ia ada di hadapanku sekarang. Benar-benar dirinya, bukannya ilusi yang sewaktu-waktu bisa kuusir ketika hatiku tak lagi sanggup menanggung sakitnya. Jarak kami begitu dekat, hanya sejauh jangkauan jari. Harum parfumnya juga tercium dari tempatku berdiri.
Seandainya aku mau, aku bisa menyentuh wajahnya. Aku bisa memeluknya dan menghirup dalam-dalam harum tubuhnya yang selalu menjadi aroma favoritku. Aku bisa membisikkan kata-kata yang selama ini menyesakkan dadaku, bahwa aku sangat-sangat merindukannya dan aku ingin kami memperbaiki kekacauan ini bersama.
Tapi semua itu tidak kulakukan.
Selama beberapa saat yang rasanya seperti seumur hidup, kami hanya bertatapan. Di mata cokelat itu, keterkejutannya tergambar jelas, seolah ia juga sama-sama tidak menyangka akan bertemu denganku di sini. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang berbeda. Mata cokelatnya tak lagi bersinar secerah matahari di langit musim panas yang tak pernah gagal membuat gadis sepertiku terbius oleh pesonanya. Kini aku melihat di mata itu hanya ada badai dahsyat, yang mungkin hanya sanggup dikendalikan oleh dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...