Aku terbangun dan sesaat mengalami disorientasi. Kamar itu gelap, hanya disinari seberkas cahaya matahari yang berhasil menembus tirai. Aroma maskulin menyapa penciumanku dari segala arah. Di bawah selimut quilt yang menyelubungiku, aku masih mengenakan kaos dan legging yang bukan milikku.
Ingatan peristiwa kemarin perlahan merembes bagai tinta yang menodai perkamen kosongku hari itu. Sungguh aneh mengira bahwa mimpiku akan menjadi kenyataan, tapi realitas yang kualami ini juga bagian dari mimpi. Mimpi terburukku.
Aku memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi. Di cermin, aku melihat wajahku hampa dari ekspresi apapun. Bukan berarti kejadian kemarin tak mempengaruhiku. Bukan berarti aku tak ingin menangis keras-keras. Bawah sadarku mungkin sedang berusaha mencerna apa yang telah terjadi, dan memutuskan bahwa ia belum mempercayainya. Lagi-lagi, penyangkalan.
Jari manisku masih dilingkari cincin pemberian darinya ketika ia melamarku di tepi teluk. Berlian berbentuk bunga mawar itu dikelilingi delapan permata yang lebih kecil, disepuh dengan emas putih. Kilauan birunya masih sama. Keindahannya masih sama. Namun bagiku, cincin itu sudah kehilangan maknanya.
Tak ingin terlalu lama larut dalam kemarahan, kuputuskan untuk melepaskannya. Kebebasan yang asing langsung menyergapku. Rasanya seperti memutus tali yang selama ini mengendalikan boneka marrionete. Rasanya seperti terjun dari ketinggian beribu-ribu meter dengan parasut― menakutkan pada awalnya, tetapi menyadarkanku bahwa aku memiliki kuasa penuh atas diriku sendiri.
Kusimpan cincin itu di sudut konter dan mencoba untuk tidak memandangnya lagi.
Sesudah mandi, aku keluar dari kamar dan menemukan kekacauan yang tidak kusadari malam sebelumnya.Oliver masih terlelap di atas sofa, tampak tak nyaman berhubung tubuhnya lebih panjang dari sofa itu. Di dekatnya, beberapa potong pizza pepperoni dingin memenuhi meja, sementara berkaleng-kaleng bir kosong tergeletak di sana-sini. Aku memandang ke segala arah dan tak menemukan celah untuk duduk karena sofa yang lain sudah tertutup kemeja dan jas yang dilemparnya secara sembarangan kemarin.
Merasa tak memiliki pilihan, kulipat kemeja dan jas itu, kemudian meletakkannya di lengan sofa. Karena tak ada hal lain yang bisa dilakukan, sekalian saja aku membereskan kaleng-kelang bir dan merapikan meja. Dengan menghilangnya sampah-sampah itu, ruang tamu Oliver kini tampak lebih layak. Sedikit.
Oliver menemukanku sepuluh menit kemudian, ketika aku sedang memanaskan sisa pizza dengan microwave.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya dengan suara yang terdengar lebih dalam efek dari bangun tidur.
"Umm, maaf, aku tidak bermaksud tidak sopan, tapi kau mungkin ingin makan sesuatu di pagi hari."
Oliver menatapku heran selama beberapa saat, sebelum akhirnya berkata. "Ayo minum kopi di luar!"
Kami berjalan beriringan dalam diam begitu meninggalkan apartemennya. Ia meminjamiku jaket kulitnya yang kebesaran dan beraroma khas dirinya karena udara masih cukup sejuk pagi itu. Ia membukakan pintu untukku begitu kami tiba di kedai kopi terdekat.
Oliver pergi untuk memesan sementara aku menunggu di salah satu meja, seperti permintaannya. Ia kembali dengan dua cangkir toffee nut latte dan dua muffin cokelat tak sampai lima menit kemudian.
"Terima kasih." kataku. "Untuk kopi ini, dan karena telah membiarkanku menginap di tempatmu semalam."
"Kau bersih-bersih pagi ini?" Ia bertanya, di luar topik.
"Dan kau tidak menyukainya?"
"Tentu saja aku menyukainya. Aku hanya... well, terkejut. Tak biasanya seseorang melakukan itu untukku." Ia mengangkat bahu.
Pikiran itu melintas begitu saja di kepalaku. "Aku akan bersih-bersih untukmu jika kau bersedia mengizinkanku tinggal di apartemenmu selama beberapa hari lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romans"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...