Setelah minggu yang berlalu dengan tidak tenang kemarin, aku kembali ke kampus dengan satu misi baru yaitu menjauh dari cowok menyebalkan Eric Lawson! Memikirkan namanya saja sudah membuat moodku jelek. Kalau harus berhadapan dengannya lagi mungkin aku akan tergoda untuk merusak wajah artistiknya itu.
Aku mendesah panjang begitu turun dari taksi. Kupaksa diriku untuk fokus hanya pada mata kuliah hari itu, bukannya malah mengingat-ingat kejadian-kejadian minggu lalu. Tapi usaha kerasku gagal begitu aku melewati parkiran.
Eric Lawson sedang bercanda dengan dua orang temannya. Cowok itu nyengir lebar begitu tahu aku-- tanpa sengaja-- menoleh ke arahnya.Aku buru-buru membuang muka dan mempercepat langkahku.
Koridor penuh dengan bisik-bisik antarcewek saat aku melintas. Itu bukanlah hal baru di sini, tapi mendengar nama Eric disebut-sebut membuat pendengaranku sedikit lebih siaga. Kupikir 'demam Eric' sudah mulai mereda.
Aku baru saja duduk ketika Julie tiba-tiba membanting majalah ke mejaku.
"Kau sudah baca majalah ini?" tanyanya menyelidik.
Dia pasti bercanda! Seolah aku pernah membaca majalah entertainment saja.
"Tentu saja belum." jawabku sabar.
"Sudah kuduga!"
Aku memutar bola mata. Kalau begitu kenapa ia harus bertanya. "Memangnya ada apa?"
Julie tidak langsung menjawab, melainkan membuka majalah itu hingga sampai pada halaman di mana terpampang foto pasangan yang sangat familier. Mataku mengawasi foto itu selama beberapa detik. Saat aku mendongak, Julie menatapku serius.
"Dia pacar baru Eric? Seorang model terkenal?" tanyanya tak percaya.
"Kurasa begitu."
Julie mendesah frustasi. "Yang benar saja. Dibandingkan cewek ini, Miranda bahkan tidak ada apa-apanya."
Jadi ini yang dibicarakan cewek-cewek di koridor tadi.
"Tak kusangka selera Eric akan setinggi itu. Anak pengusaha kaya berpacaran dengan seorang model-- well, mereka memang pasangan idaman. Rakyat jelata seperti kita tak akan punya kesempatan." renung Julie, sesaat kemudian ia berpaling kepadaku. "Tapi kau pengecualian, berhubung kau berpacaran dengan Marcel Lawson. Heran deh, kenapa dia bisa menyukaimu ya?"
Aku menatapnya skeptis. "Maaf?"
Julie nyengir. "Cuma bercanda."
Meskipun kedengarannya ironis, tapi aku tahu yang dikatakan Julie benar. Pangeran-pangeran seperti mereka lebih cocok bersanding dengan seorang putri. Sedangkan aku? Aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan menarik perhatian siapapun. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Marcel karena memilihku.
"Tunggu dulu!" seru Julie tiba-tiba. "Kau juga datang ke pesta itu kan?"
"Iya, aku datang."
Mata Julie melebar penuh antusias. "Seperti apa? Kudengar pestanya mewah sekali."
"Well, memang mewah sih-- membuatku merasa salah tempat." ungkapku jujur.
"Semewah itukah? Tapi dilihat dari penampilan Eric dan pacarnya di foto ini kelihatannya itu memang bukan pesta biasa. Lihat deh, di majalah ini bahkan juga dibahas brand yang mereka kenakan-- busana rancangan Elie Saab dan Ralph Lauren tidak mungkin murah kan?"
"Iya sih. Makanya aku merasa benar-benar salah tempat." ulangku frustasi. Percuma saja berhari-hari aku mencoba melupakannya kalau Julie malah mengungkitnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Roman d'amour"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...