Chapter 20: Through The Dark

157 16 22
                                    

Aku merasa seperti tenggelam. Kesadaran mencoba menggapaiku sementara rasa sakit menahanku untuk muncul ke permukaan. Meskipun mataku menolak terbuka, pendengaranku perlahan menangkap suara-suara di sekitar.

"Kau sudah memberitahunya?"

"Belum. Aku tak yakin Alice akan menyukainya."

Itu suara Marcel. Kuyakin yang sedang berbicara dengannya adalah Maria. Meskipun begitu, aku tetap tidak bisa menyimpulkan di mana kami sekarang.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Maria terdengar prihatin.

Marcel menghela napas. "Aku tidak tahu." Saat kembali bicara, suaranya terdengar tegang dan penuh kemarahan. "Syukurlah kita menemukan mereka tepat waktu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi seandainya kita terlambat datang sebentar saja."

"Ini benar-benar mengerikan." Aku nyaris bisa membayangkan Maria bergidik. "Bagaimana keadaan pemuda itu?"

"Tidak begitu baik."

Siapa yang sedang mereka bicarakan?

"Oh, kuharap mereka berdua baik-baik saja."

Aku mencoba melawan kabut yang menyelubungiku, tetapi malah terjatuh lebih dalam. Kesadaranku hilang timbul, hingga akhirnya pikiranku menyerah dan aku kembali terlelap.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Kali ini tidak ada kabut yang mencoba menelanku, syukurlah. Jari-jariku mulai bisa digerakkan, tetapi rasa tidak nyaman merayapi punggung tangan kananku ketika aku menggerakkan lengan.

"Alice!" Suara Marcel terdengar lega. Aku bisa merasakan ia mendekat dan duduk di sisi tempat tidur.

Aku mengerjapkan mata. Cahaya putih ruangan itu menyilaukan pandangan dan kepalaku berputar. Kututup wajahku dengan kedua tangan.

"Jangan ditarik! Kau bisa membuat infusnya lepas."

"Marcel?"

"Ya?"

"Di mana aku?"

"Kau ada di rumah sakit."

Rumah sakit?

Pikiranku seketika memutar ulang peristiwa yang terjadi kemarin dengan sekuens terbalik. Kesadaran menghantamku seperti petir di siang hari. Aku terduduk cepat. Kepalaku berdenyut-denyut karena suplai oksigen yang berkurang akibat gerakanku yang tiba-tiba. Rasa pening itu nyaris membuatku kembali ambruk ke bantal, tapi aku melawannya sekuat tenaga.

"Oliver... di mana dia?"

"Alice, tetaplah berbaring!" protes Marcel.

Aku menggeleng. "Di mana Oliver?" ulangku keras kepala.

Pintu mengayun terbuka dan Maria masuk, membawa dua gelas sterofoam. Ia tampak terkejut melihatku sudah bangun.

"Alice! Akhirnya kau bangun."

Ia ikut mendekat dan meletakkan gelas-gelas beraroma kopi itu di atas meja, kemudian duduk di bangku. Ekspresinya tampak bingung menyadari aura ketegangan yang terpancar dariku maupun dari Marcel.

"Ada apa?" Maria bertanya.

"Di mana Oliver?" Aku kembali mengulangnya, berharap mendapat jawaban kali ini.

Maria mengatupkan bibir. Ia berpaling kepada Marcel, seolah pertanyaan sederhana itu terlalu sulit untuk ia jawab sendiri.

Hatiku mencelos.

"Marcel!" bentakku. "Jawab aku! Tolong katakan bahwa Oliver baik-baik saja."

"Tenanglah, Alice. Aku akan memanggil perawat―"

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang