"Kau bertengkar dengan Eric Lawson?!" Kekagetan Rachel menyambutku di kafetaria siang itu. Mungkin Julie yang memberitahunya, dan kurasa Julie sudah mendengarnya dari desas-desus yang telah menyebar luas.
Aku hanya menunduk dan menutup wajahku dengan salah satu tangan. Kuharap tatapan-tatapan tak kentara dari setiap sudut kafetaria berhenti mengintimidasiku.
"Aku juga tidak tahu apa yang telah merasukinya. Tiba-tiba saja dia berdiri dan mengejar Eric." ujar Julie, nadanya sama sekali tidak mendukungku.
"Aku hanya ingin membela Maggie. Sikapnya tadi sudah keterlaluan." tukasku akhirnya.
Aku tak mengerti kenapa mereka malah terkesan menyalahkanku. Membela harga diri orang lain kurasa bukanlah kesalahan.
"Aku bisa mengerti niatmu baik, Alice. Tapi berurusan dengan Eric Lawson dengan cara itu rasanya aneh." Rachel mengangkat bahu dan tersenyum menyemangati. Ia memang tidak pernah memihak salah satu dari kami setiap kali aku dan Julie mulai berdebat.
"Sebenarnya Maggie kasihan juga sih." gumam Julie sambil mengaduk-aduk jusnya. "Tapi kenekatannya juga berlebihan."
Tak kusangka saat ini Julie masih membela Eric. "Kalau begitu kenapa tidak sekalian saja kau berikan sesuatu kepada Eric-- dengan cara yang menurutmu tidak berlebihan?"
Julie tertawa garing menanggapi sindiranku. "Aku masih cukup waras untuk tidak mengaguminya sejauh itu."
Menurutku dia sudah tidak cukup waras karena mengagumi seorang Eric Lawson. "Aku tidak mengerti, apa sih yang membuat kalian begitu menyukainya? Kalau hanya masalah tampang, aku yakin banyak cowok yang lebih tampan dari dia-- dan memiliki kepribadian lebih baik."
"Kenapa sih, kau sepertinya sangat membenci dia?" tantang Julie.
"Aku tidak membencinya." elakku. "Aku hanya kesal dengan sikapnya tadi."
"Ngomong-ngomong, apa yang kalian bicarakan tadi?" Kali ini Rachel terdengar benar-benar penasaran.
Aku mencoba memilah bagian di mana Eric tidak mempermalukanku. "Aku hanya memintanya untuk minta maaf kepada Maggie. Tentu saja dia menolak."
"Aku juga akan kesal kalau jadi Eric." Julie berkata.
Aku menatapnya tidak percaya. Kurasa dia memang sudah ketularan gila. Aku hendak memprotesnya lagi, tapi tangan Rachel menghentikanku.
"Sudahlah. Kita bicarakan hal lain saja." ujarnya. "Sore nanti aku mau ke toko buku, kalian mau titip novel atau sesuatu?"
"Aku ikut ya? Aku ingin mencari tas baru. Kita ke toko buku yang ada di mall saja." usul Julie bersemangat.
"Baiklah. Bagaimana denganmu, Alice?"
"Kau ikut sekalian saja, Alice. Aku butuh pendapatmu." kata Julie. Rupanya ia menganggap perdebatan kami barusan bukanlah hal serius.
"Oke." kataku, berusaha terdengar antusias.
***
Aku mengikuti Julie dan Rachel ke lapangan parkir sore itu. Kami akan pergi dengan mobil Rachel berhubung sudah beberapa hari Julie tidak membawa mobil. Ia bilang sedannya masih perlu perbaikan ekstra di bengkel. Aku sendiri masih bersabar dengan terus naik bus atau taksi, meskipun Mom sudah berkali-kali memaksaku untuk segera mencari mobil. Selain karena tidak punya banyak waktu, aku juga tidak tahu banyak tentang jenis-jenis mobil. Sekali lagi kuharap Marcel bisa membantu.
Julie tampak sangat bersemangat. Sejak tadi ia sudah mereka-reka apa saja yang akan ia beli. Ini akan jadi kali pertama bagiku untuk jalan-jalan bersama teman cewek sejak tiba di LA. Rasanya pasti menyenangkan, berhubung selama di Seattle aku lebih sering berbelanja bersama Mom.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Storie d'amore"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...