Suatu kebohongan jika kukatakan bahwa aku tidak terluka. Namun sejujurnya, perasaan yang paling mendominasi batinku saat ini hanyalah kekecewaan. Aku yakin, seandainya aku telah jatuh cinta pada Oliver, yang kurasakan pasti akan berkali-kali lipat lebih parah. Syukurlah aku belum sampai ke sana.
Meskipun begitu, aku masih sulit mempercayainya. Kenapa harus Oliver?
Aku kembali mengenang pertemuan pertama kami. Bahkan saat itu, aku tak merasakan firasat apa-apa. Ia datang begitu saja, dan surga membuatku percaya bahwa ia adalah penyelamat yang tak layak kumiliki. Kukira diriku-lah yang telah memaksanya terlibat dalam hidupku yang kacau balau. Kenyataannya aku salah. Permainan ini miliknya.
Aku menarik selimut lebih rapat dan memeluk diri, seolah dengan begitu sakitnya bisa mereda. Malam semakin larut dan tubuhku sangat lelah, namun pikiranku tetap terjaga. Seandainya aku ingin menangis, sekarang adalah saat yang paling tepat karena aku memiliki jutaan alasan untuk itu. Tetapi, tak ada air mata yang keluar. Mungkin aku terlalu lelah...atau terlalu mati rasa.
Cahaya jingga menerobos tirai ketika aku terbangun pagi itu. Selama sesaat, aku hanya menatap kosong ke langit-langit. Pikiranku mengulang kembali segalanya yang terjadi kemarin— berharap itu hanyalah mimpi buruk yang kuciptakan sendiri.
Aku berbaring dalam keheningan yang rasanya tak pernah seintens ini, sembari menunggu ketukan di pintu dari Oliver. Tapi tak terjadi apa-apa.
Ketika akhirnya menemukan kekuatan untuk bangkit, kulakukan semua rutinitas pagi dengan kepala kosong. Meskipun begitu aku mencoba untuk terus bergerak, seolah-olah jika aku berhenti lebih dari dua detik, maka aku akan kalah— pada kesedihan, pada rasa kecewa, pada pusaran takdir yang seharusnya membuatku masih meringkuk di tempat tidur dan menangis keras-keras.
Aku terkejut saat mendapati gadis asing yang terpantul di cermin. Mata hazelnya terlalu redup, meskipun aku masih bisa mengingat tawanya ketika bersama Oliver. Pipinya terlihat lebih cekung, seolah ia telah kehilangan beberapa kilo berat badannya selama beberapa minggu terakhir. Sedangkan bibirnya... ia tidak cemberut— tapi juga tidak tersenyum. Tetap saja, ada sesuatu dari dirinya yang tampak salah. Dan pemahaman itu menyergapku detik berikutnya.
Gadis itu— aku, tidak seharusnya berdiri di sana sendirian. Tempat di sisiku adalah miliknya dan akan selalu menjadi miliknya. Rasa frustasi itu seolah memanggil kenangan-kenangan yang selama ini terpendam dalam diriku, membuatku bisa mengingat semuanya dengan sangat jelas, seakan itu baru terjadi kemarin.
Aku bisa mengingat tangannya di pinggangku dan sebuah ciuman kecil di pipi darinya yang membuat gadis di depan cermin tersenyum. Aku bisa mengingat kata-kata yang ia bisikkan hanya untuk kudengar dan kesungguhan di matanya ketika ia mengatakan itu.
Aku mencintaimu, Alice...sekarang dan akan selamanya begitu.
Aku tahu ia berkata jujur, tapi aku memilih untuk tidak mempercayainya. Aku malah mempercayai kebohongan yang dikatakan orang asing dan meninggalkannya di depan altar ketika ia menjanjikan seluruh dunia untukku.
Bahkan aku pun mengakui, tindakanku tidak bisa dimaafkan.
Tapi aku tak bisa berdiam diri. Jika aku tidak mencoba sekarang, aku akan menyesalinya hingga berpuluh-puluh tahun ke depan. Tak diragukan lagi.
Maka, saat itu juga aku memutuskan untuk menemuinya.
***
Aku tidak percaya diriku berani melakukan ini― datang ke apartemen Eric seorang diri. Tak ada yang akan membantuku memunguti serpihan hati seandainya ini tidak berjalan sesuai rencana. Meskipun begitu, aku enggan berbalik. Aku akan menghadapi rintangan di hadapanku dengan berbesar hati...apapun hasil akhirnya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...