Dear Alice,
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi melarikan diri bukanlah tindakan bijaksana. Sadarkah kau betapa khawatirnya kami? Kumohon pulanglah― atau paling tidak beritahu aku di mana kau berada. Dan siapa laki-laki yang bersamamu tempo hari? Demi Tuhan, Alice, kau berhutang penjelasan pada kami. Aku mengerti kalau kau membutuhkan waktu untuk sendiri, tapi ingat, kami akan selalu ada bersamamu. Jaga diri baik-baik.
Salam Sayang,
George
NB: Kami sudah kembali ke Seattle pagi tadi.
Butuh beberapa saat bagiku untuk mencerna pesan itu. Setelah membacanya ulang untuk kali ke empat, aku mengembalikan ponsel Oliver.
"Semuanya baik-baik saja?" Ia bertanya.
Aku mengangguk kecil dan menambahkan senyuman sebelum berkata, "Terima kasih."
Aku menyesap minumku sambil merenungkan balasan dari George. Detik berikutnya, barulah aku menyadari bahwa tatapan Oliver masih terpaku pada wajahku.
"Kau mau membicarakannya?" tanya Oliver lagi. Sarapannya tergeletak tak tersentuh di atas meja. Cupcake dan cokelat panas.
Hampir saja aku ingin mengatakan 'tidak usah', tetapi dorongan kecil dalam diriku seperti berkata bahwa tidak ada salahnya aku membagi kegelisahan ini dengan Oliver. Toh selama beberapa hari ini ia mengerti.
"Keluargaku khawatir," Akhirnya aku berkata.
"Tentu saja."
"Mereka juga kecewa." Aku mendesah. "Tapi syukurlah, mereka mau memberiku waktu, jadi mereka sudah kembali ke Seattle. Kurasa memang hanya itu yang kubutuhkan saat ini."
Hening sesaat.
"Jadi, kau akan pulang?"
Aku mengangguk. "Aku yakin kau sudah bosan melihatku di sini."
"Apakah kau yakin dia tidak akan mencoba menemuimu?" Ia bertanya lagi, mengabaikan gurauanku.
Aku tidak langsung menjawab. Aku tahu persis dia yang dimaksud oleh Oliver, dan sejak berhari-hari yang lalu pikiranku selalu menemui kebuntuan jika menyangkut tentangnya. Kali ini pun tak akan jauh berbeda.
"Well, sejujurnya aku tidak keberatan kalau kau tinggal sedikit lebih lama. Masakanmu membantuku terhindar dari mati muda, kau tahu." Oliver melanjutkan.
"Kuharap kau telah belajar sesuatu dari kelas memasakku selama beberapa hari ini." kataku.
Oliver mengangkat bahu. "Mungkin sedikit."
"Itu artinya aku guru yang payah."
"Itu artinya aku murid yang tidak berguna. Makanya kau harus tinggal lebih lama lagi."
Aku tersenyum. "Aku yakin otot-ototmu juga memerlukan istirahat yang layak. Jika aku pergi, kau bisa kembali memakai kamarmu. Tidur di sofa pasti tidak nyaman kan?"
"Itu masalah mudah. Aku kan bisa tidur bersamamu."
Aku melotot, meskipun tahu bahwa ia hanya bercanda. Oliver memasang tampang tidak berdosa yang membuatku seketika gagal untuk benar-benar merasa kesal padanya.
"Terima kasih atas bantuanmu selama ini, Oliver." ujarku sungguh-sungguh. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku tidak bertemu denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...