Pesta pernikahan Marcel diselenggarakan di halaman rumah keluarga Lawson, yang memang cukup luas untuk menampung ratusan orang. Untuk ukuran seorang Lawson, acara itu lebih sederhana dari yang semula kusangka. Apalagi sejauh yang kutahu, Maria adalah sosialita sejati.
Aku turun dari mobil Oliver dengan perlahan― bukan karena khawatir stileto yang kupakai akan membuatku jatuh, melainkan karena ingin menunda-nunda waktu. Rasanya seperti sedang menghadiri proses eksekusiku sendiri.
Oliver berjalan melewati sisi mobil dan bergabung denganku. "Baik-baik saja?" Ia bertanya.
Kalau pun aku menjawab 'iya', aku tahu Oliver tidak akan mempercayainya, berhubung bisa kurasakan darah menyusut dari wajahku. Jadi, aku memilih berkata jujur.
"Sedikit gugup." Aku mengakui.
"Tarik napas, Alice. Kau sangat pucat. Atau kita bisa kembali―"
"Tidak-tidak. Aku tidak apa-apa." kataku buru-buru, sambil menelan kembali kekhawatiran yang sedari tadi menyumbat tenggorokanku.
Kami sudah sejauh ini, bagaimana mungkin aku memilih mundur sekarang?
"Ayo." ujarku, mencoba terdengar lebih berani.
Halaman rumah keluarga Lawson nyaris tak bisa dikenali. Ratusan fairy lights menghiasi setiap sudut dan menjuntai di atas kepala, bersama entah berapa puluh lampion mini yang memancarkan cahaya temaram. Meja-meja bundar di susun berdekatan, masing-masing dikelilingi tujuh kursi kayu dengan dudukan putih yang senada dengan warna penutup meja. Sejauh mata memandang, kau akan menemukan buket-buket mawar putih yang menguarkan aroma harum.
Sebuah karpet merah panjang membentang ke arah altar, tak kalah indah dan dihiasi lebih banyak bunga. Sedangkan di sisi kiri halaman, tepat di samping kolam buatan yang memantulkan cahaya rembulan, terdapat sebuah gazebo sebagai tempat untuk berdansa.
Kami melangkah lebih jauh ke halaman ketika aku mulai menyadari tatapan orang-orang― dan aku tidak menyukainya. Ini bukan acaraku. Seharusnya mereka tidak memperhatikanku. Tapi aku setengah membohongi diriku sendiri karena sebenarnya aku tahu persis alasan di balik tatapan itu.
Saat itulah aku melihat Bibi Clara.
"Selamat sore, Bibi." sapaku.
Bibi Clara berbalik. Keterkejutan dalam ekspresinya tidak dibuat-buat. Kelihatannya ia sama sekali tidak menduga bahwa aku akan hadir di sana.
"Ahh, Alice! Kau ada di sini." ujarnya. Ia memandangku dan Oliver secara bergantian dengan ekspresi yang sulit diartikan, tapi bukan ekspresi yang menyiratan kegembiraan.
"Marcel mengundang saya." jelasku.
"Tentu." balasnya, agak kelewat histeris. "Kau...ehm, sudah bertemu..."
"Belum." potongku. "Di mana Marcel dan Maria?"
"Marcel dan Maria, ya? Mereka di sebelah sana." Bibi Clara menunjukkan arah dengan ekspresi kaku. "Baiklah. Kalau begitu, aku mau...well, banyak tamu yang harus kutemui. Sampai nanti, Alice."
Bibir Clara berlalu tanpa menunggu respon dariku. Sulit untuk tidak mencemaskannya, tetapi sikap dingin Bibi Clara bukanlah sesuatu yang wajar. Meskipun begitu, aku mencoba berbesar hati dan memilih berkonsentrasi untuk mencari Marcel.
Di kejauhan, kulihat Marcel dan Maria sedang bercakap-cakap dengan beberapa tamu. Marcel mengenakan setelan putih tulang yang serasi dengan gaun Maria. Di bawah pendar lampu, mereka tampak bersinar. Kebahagiaan yang terpancar dari wajah keduanya seolah menunjukkan betapa besar mereka saling mencintai. Untuk sesaat, kuakui bahwa aku merasa iri. Tetapi, siapa yang tidak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...