Aku terbangun dengan perasaan gelisah. Semua peristiwa yang terjadi selama beberapa hari terakhir menderu di kepalaku, menyerang sisi rasionalku dari segala arah sehingga otakku kelelahan. Tapi ada satu hal yang mengusikku lebih dari semua kekacauan yang telah terjadi― ciumanku dengan Oliver. Benarkah hari itu aku memberinya kesempatan?
Aku menghela napas panjang dan menyandarkan kepalaku ke meja. Rasanya seperti baru saja melakukan kejahatan. Kalau akal sehatku masih berjalan, tentunya aku tak akan memberi harapan yang tak pasti pada Oliver, terutama setelah semua hal yang ia lakukan untukku.
Ya, Alice, kau memang bodoh― dan kejam.
Aku menggeleng kuat-kuat, seolah dengan begitu kegelisahanku dapat memudar. Sedikit kafein di pagi hari mungkin bisa membuat pikiranku lebih jernih, tapi aku sedang tidak berselera untuk menyeduh kopi sendiri. Kuputuskan akan berjalan ke kedai kopi di ujung jalan, sekaligus mencari udara segar.
Baru saja aku membuka pintu ketika kulihat seseorang berdiri di luar. Salah satu tangan Oliver masih terangkat di udara. Seringai khasnya mengembang begitu melihatku.
"Aku baru mau mengetuk." jelasnya.
"Hai." sapaku canggung. Berhadapan dengannya di kala aku tidak siap adalah suatu tekanan tersendiri. Harus seperti apa aku bersikap?
"Kau mau pergi?" Ia bertanya.
"Ehm, aku ingin minum kopi di luar."
"Boleh kutemani?"
Aku mencoba tersenyum. "Tentu."Kami berjalan dalam diam. Aku tak tahu apa yang seharusnya kukatakan, sementara Oliver mungkin juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Keheningan itu lumayan menyiksa, mengingat biasanya Oliver lebih banyak bicara. Meskipun begitu, ia tetap memberiku senyum setiap kali aku memandangnya.
"Kau duduk saja. Biar aku yang pesan. Apa yang kau mau?" tanyanya begitu kami tiba di kafe.
"Aku mau dry cappucino saja."
"Segera datang, Ma'am." ujarnya santai, lalu menghampiri konter.
Aku tersenyum kecil dan memilih duduk di bagian luar kafe. Udara pagi itu cukup hangat, mungkin sekitar 24 derajat, jadi aku melepas mantelku dan meletakkannya di salah satu bangku. Sehelai daun maple terbawa angin dan mendarat di atas meja. Kuamati warna cokelat kemerahannya yang cantik, seketika merasakan bahwa musim gugur mungkin memutuskan untuk menyapaku lebih awal.
Bagaimanapun, menyaksikan perubahan warna-warna daun yang dramatis dan melihatnya berguguran dari pohonnya tak pernah gagal menggerakkan hatiku. Bahkan jika kita mau melihatnya lebih dekat, musim gugur selalu memberikan pelajaran berharga melalui prinsip universalnya― jika kita ingin tumbuh dan berkembang, harus ada sesuatu yang dilepaskan.
"Ini cappucino-mu." kata Oliver, mengembalikanku ke dunia nyata.
"Terima kasih."
Oliver duduk di bangku yang berhadapan denganku. Aroma harum dari kepulan asap espresso-nya tercium dari tempatku duduk.
Sejenak tidak ada yang bersuara. Aku menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk cappucino-ku, sementara Oliver mulai menyesap kopinya sendiri. Meski tidak mengatakan apa-apa, aku tahu ia menunggu.
"Mengenai yang kemarin...soal...kau tahu..." Aku mencoba memulai, tapi langsung gagal merangkai kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kerumitan dalam kepalaku.
"Kau tidak sungguh-sungguh mempertimbangkannya kan?" tebak Oliver. Di luar dugaan, ia tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku mengerti."
"Aku tidak ingin berakhir dengan menyakitimu― seandainya waktu saja tidak cukup." ungkapku jujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...