Malam sebelumnya, aku meminjam ponsel Oliver dan memberanikan diri mengirim sebuah email untuk kakakku. Aku memberitahunya bahwa aku baik-baik saja dan memintanya agar tak mencariku. Aku tak bisa melakukannya lewat telepon tanpa menumpahkan air mataku lagi. Selain itu, kemarahan George beserta seluruh keluargaku yang lain bukanlah sesuatu yang ingin kuhadapi saat ini.
Hari ini seharusnya aku bertemu dengan Mia, tapi aku belum menemukan alasan yang masuk akal untuk keluar dari apartemen tanpa membuat Oliver curiga. Tapi rupanya Dewi Fortuna sedang berada di pihakku.
Pukul empat lebih sedikit, kulihat Oliver sudah tampil rapi dan mengenakan jaket kulitnya. Ia meraih kunci mobil dan berpapasan denganku di ruang tamu.
"Mau pergi?" tanyaku.
"Umm, ya." gumamnya, tidak benar-benar menatapku. "Aku akan segera kembali."
Setelah itu, ia melesat keluar dan meninggalkanku sendirian.
Aku tak mempunyai waktu untuk memusingkan ke mana Oliver pergi. Aku segera bersiap-siap dan meninggalkan apartemen setengah jam kemudian. Syukurlah aku tak perlu repot-repot membuat alasan demi bisa menemui Mia.
Rasanya aneh berada di luar seorang diri. Ada sedikit perasaan cemas yang menyelubungiku, dan keinginan untuk menjadi tak kasat mata itu muncul kembali. Kepalaku terus tertunduk sepanjang perjalanan, berharap tidak berpapasan dengan siapapun yang kukenal, hingga akhirnya aku tiba di Tyles Cafe, dua blok dari apartemen Oliver.
Mia sudah ada di sana. Kali ini ia berpenampilan lebih santai― blus pink, celana denim gelap, dan sneakers. Sebuah tas tangan dari brand ternama seharga ribuan dollar diletakkan di bangku sebelahnya. Ia sedang memainkan ponsel ketika aku mendekat.
"Hai!" sapaku.
Mia mengangkat wajah dari ponselnya. "Oh, kau sudah datang. Silakan duduk, Alice."
"Terima kasih. Sudah lama menunggu?"
"Tidak juga. Ini bahkan belum jam lima." jawab Mia santai. "Apa yang sedang dilakukan Oliver?"
"Dia baru saja pergi." terangku.
Mia mengangguk. "Kau mau pesan apa?"
"Terserah padamu saja."
Mia memanggil seorang pelayan dan memesan dua frappucino. Pelayan itu kembali tak sampai lima menit kemudian membawakan pesanan kami. Begitu ia pergi, aku memandang Mia, menunggu.
"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku memintamu datang ke sini, iya kan?" tebak Mia, mengartikan tatapanku.
Aku mengangguk.
"Tenanglah, Alice. Jangan tegang begitu. Aku tidak berniat menginterogasimu." Mia tertawa kecil.
Aku balas tersenyum canggung, kemudian menghela napas dan mencoba duduk lebih rileks.
Perlahan, ekspresi Mia berubah serius. "Langsung saja, Alice, aku memintamu ke sini karena aku membutuhkan bantuanmu."
"Bantuan?" ulangku, bingung.
"Kau ingat saat aku mengatakan bahwa aku mengunjungi Oliver karena batal bertemu dengan klienku? Sebenarnya aku berbohong. Aku memang sengaja datang ke sana untuk membujuk Oliver. Tak kusangka responnya masih tetap sedingin itu."
Aku tediam dan memproses informasi itu sembari mengingat kedatangan Mia kemarin lusa.
"Apakah Oliver pernah bercerita padamu tentang masalah keluarga kami?" Mia bertanya.
Otomatis aku menggeleng.
Mia mendesah. "Aku tidak tahu apakah aku berhak menceritakan ini padamu, tapi intinya Oliver membenci kami― aku, Ayah, dan Ibuku. Itu sebabnya dia meninggalkan rumah sejak bertahun-tahun yang lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...