Fajar baru saja merebak di ufuk timur, tapi aku sudah jauh dari apartemen yang menawarkan kehangatan dan memilih mendatangi taman kota. Tempat itu masih sunyi dan nyaris beku oleh udara bulan September. Bisa dikatakan pagi itu bukanlah saat yang tepat untuk berolahraga.
Aku terus berlari dan berlari. Seakan sedang menghukum diri, aku tidak berhenti meskipun otot-ototku yang kaku dan tak terlatih mulai kesakitan, debaran jantungku mulai memekakkan telinga, dan napasku tidak beraturan.
Angin berhembus cukup kencang, menerbangkan guguran dedauan kering dari rantingnya dan membawa udara dingin yang menusuk tulang, meskipun matahari telah bersinar rendah. Kenapa angin ini enggan membawa pergi kegundahanku juga, mengingat aku sudah serapuh dupa yang tersulut api?
Kemudian pikiran itu menyergapku.
Sejak awal, hubunganku dengan Eric memang tidak pernah mudah, hingga akhirnya kami tiba pada titik ini. Apakah sebenarnya ini adalah pertanda bahwa kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama? Apakah memang itu yang tertulis di atas sana, di antara bintang-bintang dan naskah penentu jalan hidup yang mengatur setiap hal kecil yang kami lalui?
Bagaimana jika aku tidak ingin mengikuti jalan itu? Bagaimana jika aku menentukan sendiri takdirku?
Eric memiliki hatiku, untuk sekarang, esok, dan seterusnya. Hanya dia dan akan selalu dia. Jadi aku tidak akan mundur sekarang. Aku akan memperjuangkan perasaan ini, hingga nantinya takdir pun menyerah dan berhenti memisahkan kami.
Aku tersenyum pada diriku sendiri— merasa lebih optimis dari sebelumnya. Andai bukan aku, akan kubiarkan waktu membuka rahasianya dan membawa ia kembali padaku.
Trotoar sudah mulai dipadati pejalan kaki ketika aku berjalan kembali ke apartemen. Orang-orang yang berpapasan denganku tampak sibuk dengan dunianya masing-masing sehingga tak satu pun dari mereka menoleh, seperti halnya diriku yang tak menemukan keinginan untuk sekedar melempar senyum sopan.
Kemudian aku melihat seorang pria berdiri tepat di depan pintu masuk apartemenku. Pria itu tinggi, berambut hitam pendek, serta memiliki kumis dan janggut tipis. Usianya mungkin baru akhir tiga puluhan. Penampilannya tampak rapi dan formal dengan kemeja abu-abu gelap dan pantofel— mengingatkanku pada orang-orang yang bekerja pada Marcel di gedung Lawson Inc. Meskipun begitu, aku tidak mengenalinya.
Aku hampir melewatinya begitu saja ketika ia melangkah untuk menghalangi jalanku. "Selamat pagi. Apakah Anda Miss Alice Dyncer?"
Di tengah keterkejutan dan kebingungan, aku mengangguk. "Apa aku mengenalmu?"
"Saya rasa tidak, Miss. Tapi saya adalah orang suruhan Mr. Lawson. Ia ingin menemui Anda."
Aku mematung. Tiba-tiba saja lidahku seakan terbelit sehingga rasanya sulit sekali untuk mencoba bicara.
Mr. Lawson? Apakah yang ia maksud adalah Marcel atau...
"Sebelah sini, Miss." ujar si pria, mengarahkanku untuk masuk ke sebuah sedan hitam yang sudah menunggu di sisi jalan.
Aku mengikutinya dengan pikiran buntu. Bahkan ketika si pria mulai menyalakan mesin dan membawaku melaju menembus ramainya lalu lintas, aku masih tidak menemukan pertanyaan untuk dilontarkan lebih dulu. Setelah entah berapa lama kami berkendara, barulah aku memberanikan diri bertanya, meskipun tidak langsung pada intinya.
"Apakah kita akan ke Lawson Inc?" Jika jawabannya 'ya', maka sudah bisa dipastikan bahwa Marcel-lah yang sedang menungguku.
"Tidak." jawabnya pendek.
Aku mencoba menenangkan irama jantungku yang mulai tak beraturan. Itu tidak membuktikan apa-apa. Bisa saja Marcel ingin menemuiku di tempat lain. Aku mencoba membohongi diri sendiri, meskipun sebagian kecil hatiku mulai berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Roman d'amour"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...