Ketika usianya menginjak delapan tahun, Rena sadar akan satu hal;
Bahwa ada sesuatu yang pergi dan tak kembali ketika hujan datang.
Rena mempercayai hal tersebut sejak sesuatu yang pernah menjadi miliknya hilang dicuri waktu.
Tangannya terjulur ke depan, menangkap sisa-sisa hujan yang merintik dari payungnya, dengan kepala menengadah menatap langit yang masih kelabu. Senja itu begitu muram tanpa lembayung jingga. Dan Rena, dengan matanya yang sembab, seolah sedang menjadi cermin kemuraman langit.
Ketika rintik-rintik itu pergi menuju langit, mereka senantiasa datang kembali.
Tetapi ketika rasa yang melangkah pergi, maka sampai kapan pun; hal tersebut tidak akan kembali.
Rena menyeka tangannya yang basah pada gaunnya. Berbalik menatap keramaian yang tercipta di belakang. Sekumpulan orang dengan pakaian hitam dan wajah-wajah sendu saling berjabat dan merengkuh.
Bibirnya tersenyum tipis
"Ren?" Sebuah mobil menepi dan berhenti persis di sampingnya. Kacanya sudah terbuka ketika perempuan itu menoleh, membuat matanya langsung bertemu dengan pandangan si laki-laki.
"Gilang?" Alisnya bertaut. "Lo kok di sini?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Rena, Gilang hanya menunjuk kursi di sampingnya yang kosong. "Naik."
Perempuan itu refleks menunduk untuk melihat gaunnya yang agak basah terkena percikan hujan.
"Cepet, naik," kata laki-laki itu cuek. Kepalanya sudah menatap lurus ke depan sehingga tak lagi beradu pandang dengan Rena.
Setelah menimbang selama beberapa detik, perempuan itu akhirnya mengangguk dan memutar ke bagian kiri mobil. Masuk ke kursi penumpang yang berada persis di samping pengemudi
Gaun selutut berwarna biru tuanya terasa semakin lembap ketika diterpa udara dingin air conditioner mobil.
"Pake," ujar Gilang sambil melempar jaket hitamnya dari jok belakang ke pangkuan Rena. Tangannya segera memindahkan perseneling dan menginjak gas. Mobilnya mulai melaju di tengah hujan, dengan keheningan yang sama sekali tidak berniat ditepis.
Keduanya memang sama-sama terdiam, namun tanpa atmosfir canggung.
Gilang sangat mengerti dengan apa yang Rena butuhkan. Perempuan itu butuh waktu sebelum mulai menyuarakan isi hatinya.
***
"Pringles?"
"Check.
"Kitkat?"
"Check."
"Tango?"
"Check."
"Skittles?"
"Check."
"Apalagi ya?"
Mereka sedang berjalan beriringan di salah satu supermarket, dengan Gilang membawa keranjang belanjaan dan Rena celingak-celinguk mencari makanan yang dicarinya. Ia masih mengenakan jaket laki-laki itu yang kebesaran sampai-sampai menenggelamkan ujung tangannya, sedangkan Gilang hanya mengenakan kaos oblong hitam dan jeans.
"Udah kali ya?" Rena bertanya lagi, entah kepada dirinya atau kepada si laki-laki. Suasana supermarket di sore itu cukup ramai, mungkin karena akhir pekan.
Gilang kemudian melirik jajaran makanan instan di sebelah kanan. "Ramen? Indomie?" tawarnya.
Kepala Rena refleks menoleh. "Nah iya!" serunya semangat. Ia langsung mengambil beberapa bungkus dan menaruhnya ke keranjang. "Pantesan tadi gue ngerasa ada yang kurang."
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...