[18] Senja untuk Kita

4.3K 397 29
                                    

It may sound absurd, but don't be naive
Even heroes have the right to bleed
And it's not easy to be me

– Five for Fighting

***

Cahaya keemasan menyoroti barisan nisan; mengeja nama-nama yang tergurat abadi. Matahari sudah merendah hingga tujuh puluh derajat, tak lagi menyengat namun hangat. Menuntun Gilang dan Rena menyusuri jalan setapak, dengan masing-masing mengunci bibir. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Bagi Gilang, mengenang Gita rasanya hampir sama dengan memutar-balik waktu. Gilang masih hafal bagaimana cara Gita tersenyum dan bagaimana ia selalu mengabaikan senyuman itu selagi masih bisa melihatnya. Gilang masih ingat hangatnya pelukan Gita pada tubuhnya yang babak-belur tapi ia justru mendorongnya hingga terjatuh, atau bahkan ketika Gita marah hingga menjewer telinganya dan Gilang membalasnya dengan merusak satu-satunya gaun Gita.

Gita adalah satu-satunya orang yang menurutnya tepat untuk digambarkan sebagai definisi keluarga, saudara, seseorang yang tulus menyayanginya. Definisi yang terlambat ia sadari.

Ibu kandung mereka kabur dari rumah ketika Gilang berusia enam tahun. Sedangkan ayah mereka terjerumus dalam perjudian, bersahabat dengan kekerasan, bahkan tak segan menghantam tubuh mungil Gilang dengan kursi rotan.

Gita-lah yang selalu di sampingnya ketika ayahnya mulai lepas kendali. Dulu, Gilang belum menyadari hal ini. Gilang kira, Gita hanya membuat ayahnya semakin marah. Tetapi kini ia sadar, segala perlakuan kasar orangtuanya membuat ia mati rasa hingga buta dengan pengorbanan sang kakak.

Bahkan setelah mereka pindah ke panti asuhan dan diadopsi oleh wanita karir yang begitu mapan, yang secara signifikan membuat hidup mereka membaik, apakah Gilang juga memperbaiki sikapnya pada Gita? Apakah Gilang bahkan pernah repot-repot membuatnya tersenyum?

Dan melihat kenyataannya sekarang, betapa Gilang menyesal tidak menyayangi Gita sebagaimana Gita menyayanginya. Kepergian Gita adalah pukulan telak baginya, penyadar sekaligus hukuman.

"Lang." Suara Rena menarik Gilang dari ruang waktunya yang tergelincir ke masa lalu. Matanya pelan-pelan beralih untuk menatap nisan Gita, tidak sekalipun Gilang bisa melihatnya tanpa merasa sakit dan sesal, malu dengan dirinya sendiri.

"Happy born day," bisiknya serak. Akhirnya tangan Gilang terulur untuk menaruh beberapa tangkai lilly ke atas makamnya. Seutas pita diletakkan juga di sana, berwarna putih gading, sewarna gaun yang terakhir dikenakan Gita. Ingatan Gilang agak terlalu tajam menyangkut hal ini, mengherankan karena pelajaran fisika tadi siang bahkan tidak diingatnya sama sekali.

Perhatian Gilang kemudian berganti pada Rena yang kini tengah tersenyum lembut sambil menyekar kelopak bunga putih-merah, rambutnya yang terjuntai melewati pundak bergerak-gerak pelan diterpa angin.

Okelah, Lang, katanya pada diri sendiri, ayo cairin suasana.

"Rena." Perempuan itu segera menoleh, kepalanya agak mendongak. "Lo tau gak, pas masih bocah dulu, gue tukang nyuri mangga tetangga."

"Yah, gak heran sih gue."

"Gua paling jago manjat sekampung," lanjut Gilang, suaranya dibuat seantusias mungkin. "Kalo gue udah manjat, pasti temen-temen gua pada ngumpul di bawah. Semuanya nyemangatin, berasa peserta lomba panjat pinang internasional!"

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang