[23] Tik-tok, Tik-tok

3.7K 355 50
                                    

Lucu, melihat bagaimana waktu bermain, hingga seluruhnya beku membatu.

***

Berita itu menyebar dengan cepat. Tanpa aba-aba.

Koridor sekolah di keesokan hari penuh dengan percakapan dan decak prihatin; "Gilang kecelakaan," kata mereka, "Emang anaknya nyeleneh, sih."

Pertama kali berita itu sampai pada Rena, ia bahkan tidak sadar jantungnya berdetak lebih cepat dan napasnya tertahan. Tangannya kebas. Pikirannya stagnan. Satu-satunya yang Rena ingat; ia berlari mencari kendaraan umum, dan pergi ke rumah sakit secepat mungkin.

Secepat mungkin,

sebab waktu tak bisa diulang.

Secepat mungkin,

sebab meski menit tetap berdetak, jantung Gilang bisa saja berhenti.

Langkah kakinya membelah keramaian. Beberapa murid menoleh ke arahnya dan menggumamkan beberapa kata yang tak bisa Rena dengar. Sebagian dari dirinya seakan kembali berlari sepanjang koridor rumah sakit, ketika pikirannya dipenuhi oleh Gilang, Gilang, Gilang, dan Ayah, lalu Raffa...

Sudah tiga hari sejak kecelakaan itu dan Gilang belum sadarkan diri.

Rena merasa seseorang menepuk pundaknya, dan menyambutnya dengan seulas senyum tipis. "Ris," panggilnya pada orang itu, Risa. Di sampingnya berdiri Laras yang sedang memegang nampan berisi tiga gelas jus jeruk.

"Lo udah kayak mayat hidup tau gak?" Laras menarik sikunya selagi mencari tempat duduk di kantin. "Masih mikirin Gilang?" tanyanya.

Rena memutar bola mata, seolah fakta itu belum cukup jelas. "Kalo dia gak bangun--"

Risa mendelik ke arahnya. "Gak usah mikir yang macem-macem deh, Ren."

Laras mengangguk setuju. Ia membagikan jus jeruk masing-masing satu sambil berkata, "Gilang kuat, kan? Dia gak akan kenapa-napa, sebentar lagi juga siuman."

Desah panjang lolos dari Rena. "Kalo dia belum bangun, gue belum tenang," jelasnya. Tapi kekhawatirannya tidak hanya satu. "Raffa juga belum ngehubungin gue."

Bukan berarti ia ingin dihubungi. Tetapi bukankah laki-laki itu seharusnya menghubunginya, mengingat berbagai alasan dan penjelasan yang masih menggantung di antara mereka?

"Lah?" Risa mengernyit heran. "Kan lo duduk dempetan sama dia?"

"Dempetan apanya, sih! Jarak antar meja kan satu meter, itu gak dempet."

Laras menyeletuk, "Lo yakin satu meter? Udah diukur pake meteran?"

Rena tak bisa menahan untuk tidak mendelik jengkel. "Persetan sama meteran," katanya. "Raffa udah gak masuk tiga hari."

"Lo kan punya LINE-nya. Chat aja," usul Risa, yang langsung membuat Rena bungkam. Risa mengernyit lagi. "Kenapa? Lo gak mau nge-chat duluan? Yaelah, udah jaman emansipasi wanita! Cewek nge-chat duluan tuh--"

"Bukan itu masalahnya."

"Terus?"

Rena memutarkan telunjuknya pada sekeliling bibir gelas. Seolah sedang memutar tombol rewind pada kejadian di ruang musik lalu. Mengingat hal itu membuat Rena malu, marah, dan entah... Tidak mudah menjabarkan perasaan ketika terlalu banyak hal yang melintas di pikiran.

"Gak apa-apa," kata Rena pada akhirnya. Tidak ingin membuat kedua temannya itu bertanya lebih lanjut, ia lantas mengatakan, "Nanti gue chat deh. Puas?"

Risa tersenyum puas. "Lo nanti mau jenguk Gilang lagi?"

"Mm-hm." Rena mengangguk. Kini beban di pundaknya sudah sedikit terangkat; setidaknya, meski ia tidak bisa berkata jujur pada Risa dan Laras, perhatian keduanya tetap membuat Rena merasa baikan. Bukan berarti Rena tidak mempercayai mereka, Rena hanya belum siap untuk terbuka.

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang