Ada sesuatu yang hilang, tanpa pernah kumiliki.
***
Kakinya bergerak untuk meniti anak tangga satu persatu, sedangkan tangannya menggenggam ponsel sambil sesekali melekapkannya ke telinga. Dia sudah berkali-kali berusaha menghubungi Dhysta, tetapi tidak ada jawaban. Perempuan itu hanya meninggalkan satu pesan singkat beberapa menit lalu:
Dhysta: Raf, ke rooftop. Please?
Dan di tempat itulah Raffa sekarang. Ia sudah mencapai anak tangga terakhir. Tangannya terayun untuk membuka pintu. Pandangannya serta-merta terpaku.
"Dhysta?" tegurnya, sedikit tak percaya.
Secara penampilan, tidak ada yang aneh dengan perempuan itu. Rambutnya yang hitam legam masih diurai seperti biasa dan senyumnya yang anggun belum pudar. Hanya saja, kali ini ada sebatang rokok yang terselip di antara jemarinya.
Raffa mendengus. "You said that you hate it—"
"Or should I say, I used to hate it?" Dhysta memainkan benda di tangannya. Ia masih tersenyum polos, seolah tidak ada yang salah.
Raffa menggeleng tak habis pikir. "Ok, bukan urusan gue." Dia memotong jarak di antara mereka hingga hanya tersisa lima langkah. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Kenapa gue harus ke sini?"
"Gak ada yang bilang lo harus ke sini, Raffa." Dhysta menghisap rokoknya, lalu mengembuskan napas. "Gue cuma bilang 'Raf, ke rooftop. Bukan 'Raf, lo harus ke roof—"
"Dhys." Raffa menyela. "Gue gak mau basa-basi."
Perempuan itu menggedikan bahunya. "Ok." Ia merogoh saku dan menyodorkan bungkus rokoknya. "Mau?"
"Dhys. Please."
Sambil menarik kembali tangannya, Dhysta menghela napas panjang. Ia kemudian memutuskan untuk mematikan rokoknya dan membuang pandang ke arah lain. Menghindari tatapan Raffa yang dingin dan menusuk.
"I changed my LINE, have you notice it?"
Raffa hanya mengernyitkan dahinya. "Why should I?"
"Because I tried—so hard—to get your attention."
Laki-laki itu tidak menjawab.
"Pathetic, ya?" Dhysta berusaha terkekeh, tetapi kekehnya terdengar pahit. "Apa kabar, Raffa?"
Raffa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Aku cuma bisa berharap yang terbaik," bisik Dhysta. Dia memberi jeda sejenak. Bibirnya tersenyum tipis. Sikapnya kembali melembut, kembali seperti Dhysta yang biasa. "Tapi kadang, kenyataan gak sesuai harapan."
"Kalo lo berharap yang terbaik—" Raffa menunjuk bungkus rokok yang masih berada di tangan Dhysta "—jangan sentuh itu lagi. Karena itu gak akan menghasilkan sesuatu yang baik."
Dhysta berjalan menuju tempat sampah dan membuangnya. Dia berhenti sejenak. "Kamu sama Rena..." Kata-katanya tertahan sebentar. "Kalian—"
"Baik-baik aja." Raffa mengangguk, seolah sedang meyakinkan diri sendiri. "Dan lo gak perlu ikut campur, Dhys. Tolong, sekali ini aja. Jangan bilang apa-apa lagi ke Rena. Gue yang harus jelasin. Bukan yang lain."
"Semuanya?"
"Semuanya."
Dhysta mengangguk. "Ok, Raf." Dia berjalan mendekat untuk menepuk pundak laki-laki itu. "Good luck." Lantas berbalik badan, hendak meninggalkan rooftop tepat ketika Raffa menahan pergelangan tanganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Genç KurguAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...