Ada satu hal kecil tentangmu yang sempat kulupakan; bahwa kedatanganmu akan diakhiri dengan kepergian.
Itulah hal paling wajar yang seharusnya bisa kurelakan.
Seharusnya.
***
"Gue mulai curiga," deklarasi Rena begitu mereka sudah separuh jalan menuju rumah sakit tempat Gilang dirawat.
Mereka; Rena dan Dimas, kini menempuh perjalanan kedua kalinya dalam sehari. Setelah mengunjungi toko bekas atas usul Rena, sekarang mereka berjalan menuju rumah sakit atas usul Dimas. Bersisian di trotoar jalan kota Jakarta, menuju destinasi yang tidak terlalu jauh dari sekolah. Beruntung memang, Gilang tidak dirawat di rumah sakit yang jaraknya berbelas kilometer.
"Curiga apa?" Dimas memantapkan posisi tasnya di punggung selagi berjalan menyejajari Rena.
Rena mendengus. "Lo lagi bersekongkol sama Gilang, ya?" tudingnya langsung.
Dimas mendelik. Jika sekarang ia sedang meneguk es jeruk, maka ia sudah menciptakan semburan jeruk paling luar biasa sepanjang masa. Untungnya, untuk saat ini, ia hanya tersedak ludahnya sendiri.
Rena semakin curiga, matanya memicing. "Jawab, Dim."
"Kaga kok, gila aja. Bersekongkol apa?" Dimas mengangkat tangannya, mengacungkan dua jari membentuk simbol damai. "Suer, deh. Segitu gak percayanya sama gue? Emang gue punya tampang-tampang kriminal? Ganteng gini!"
Perempuan yang berjalan di sampingnya itu masih memicingkan mata. Dahinya mengernyit skeptis. Dimas membalasnya dengan cengiran lebar, jurus andalannya. Sedetik kemudian Rena memutuskan untuk menyerah, menghela napas dan kembali berjalan tanpa ingin mencurigai apa-apa.
"Kita jenguk dia sepagi ini gak masalah?" Rena melirik jam tangannya, pukul sepuluh pagi lewat beberapa menit.
Dimas mengangguk dengan santai. "Kan udah jam besuk, gak masalah dong."
"Maksud gue, Gilang-nya gak keganggu? Emangnya dia gak mau istirahat?"
"Istirahat mulu, lu kira dia abis nyangkul? Dari kemaren tuh anak kerjaannya tiduran doang."
"Orang sakit kan beda, Dim!"
Dimas tertawa melihat ekspresi kesal Rena, entah sudah berapa kali ia tertawa hari ini. Hal tersebut membuat Rena menatap Dimas seolah-olah ia adalah mesin tawa; dan hal itu mengingatkannya pada Raffa, yang tawanya begitu candu. Atau setidaknya begitulah bagi Rena, entah bagaimana bagi yang lain; Rena tidak ambil pusing. Yang terpenting adalah, Raffa baginya.
"Tuh 'kan, bengong lagi-Rena, awas!"
Tubuhnya ditarik, beberapa detik sebelum sebuah motor melaju kencang tepat di sampingnya.
Dimas menggeleng-gelengkan kepala. "Lo tuh mikirin apa sih? Sini dah, jalan di sebelah kanan gue aja!" Tubuhnya kembali ditarik, kali ini untuk bertukar posisi dengan Dimas agar Rena tidak berjalan terlalu dekat dengan jalan raya.
Perempuan itu bergumam, "Sorry," dengan pelan. Entah kali keberapa ia lupa dengan sekelilingnya lantaran hanyut dengan pikiran sendiri.
"Lo mau beli buah buat Gilang gak? Di belokan sebelah kanan nanti ada tukang buah." Tangannya menunjuk persimpangan yang tidak begitu jauh di depan. Rena juga mengenal jalan tersebut, sebab ia beberapa kali mampir ke sana.
"Eh, boleh, Dim."
"Ok."
Rena membeli beberapa apel dan jeruk untuk Gilang; sedangkan Dimas memilih untuk membeli pisang.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...