[15] Pelarian, Tersesat, Pulang

4.7K 435 60
                                    

He's waiting, hides behind a cigarette.
She's falling, doesn't even know it yet.

– One Direction

***

Terkadang perasaan memang sekejam itu: merasuk hatimu diam-diam, tanpa aba-aba, dan lantas menjatuhkanmu tanpa ampun. Dan ketika kau sadar bahwa dirimu terluka, ternyata kau sudah berada di jurang paling dasar –tak tersentuh, tak tertolong, tak tergapai.

Gilang ingin sekali menertawai dirinya sendiri, dan melontarkan selaksa kalimat ejekan pada refleksinya di cermin. Tetapi alih-alih melakukan hal itu, Gilang memutuskan untuk melakukan pelarian. 

Karena untuk apa bertahan, jika sedari awal kau sesungguhnya tak pernah punya rumah.

Untuk apa memegang peta, jika kau pada akhirnya akan selalu tersesat.

Bukan cara Rena tersenyum pada Raffa yang membuatnya seperti ini.

Tetapi bagaimana cara mereka saling bertatapan.

Tatapan rindu yang diam-diam saling berharap.

Dan Gilang seakan menjadi saksi bagaimana mereka memulai kembali kisahnya. Menjadi saksi bagaimana dirinya pelan-pelan akan tersingkir, karena mungkin sedari dulu Rena memang hanya menginginkan Raffa. Bukan dirinya.

Demi Tuhan, sejak kapan Gilang jadi semelankolis ini?

Asap putih menguar seiring ia menghela napas, di jemarinya terselip sebatang rokok yang baru disulut beberapa menit lalu. Punggungnya bersandar pada pagar rooftop dan yang ia inginkan hanya satu: kabur sejenak dari realita.

Tetapi sebuah suara membuatnya tersentak.

"Udah gila lo ya, ngerokok di sekolah?"

Entah kebetulan apa yang tengah dipermainkan semesta.

Gilang tersenyum miring. Mengembuskan napas dan asapnya dalam-dalam. "Balik sana ke kelas," balasnya tak menjawab pertanyaan.

Orang itu malah berjalan mendekat, dan duduk persis satu meter di samping Gilang. Ikut bersandar pada pagar rooftop, tangannya memeluk lutut. "Buat apa gue ada di kelas, tapi gak bisa nyimak guru sama sekali. Mending keluar, cari angin." 

Sejenak, Gilang tahu ada yang berbeda dari orang itu. Atmosfirnya entah kenapa terasa begitu sendu. Berbeda dengan ketika terakhir kali mereka bicara.

"Sori, ya. Waktu itu gue lagi kalut," ujar orang di sebelahnya dengan senyum hambar. "I was not in the right mind that day, jadi jangan liat gue kayak penjahat gitu dong, Lang? Gue gak bermaksud jahat kayak yang lo pikirin."

Gilang masih bergeming, tak menyahut. Menghirup rokoknya dalam-dalam.

"Yah, mungkin lo gak akan ngerti gimana rasanya. Takut kehilangan akan sesuatu yang bahkan bukan milik lo."

Sepertinya mereka akan terus begitu, yang satu bicara dan yang satu mengabaikan.

"Pernah gak, Lang, ada di posisi gue? Di saat gue jatuh untuk dia, tapi dia jatuh untuk yang lain."

Sejenak, Gilang ingin sekali menyahut, tetapi lantas urung. 

"Gue berjuang untuk dia, tapi dia bahkan gak berjuang untuk dirinya sendiri. Jadi selama ini gue mengejar apa sih? Kenapa di saat rasanya gue hampir menggapai itu semua, tiba-tiba semuanya terlepas."

Klise. Sangat klise. Tetapi Gilang tak bisa memungkiri bahwa perkataan itu diucapkan dengan sungguh-sungguh, hingga membuatnya terdengar tak biasa. Ada sesuatu yang menggelitiknya. Kini Gilang merasa seperti tengah berkaca. 

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang