[27] Bahagiamu, Bahagiaku

3.8K 328 58
                                    

Jika bahagiamu adalah bahagiaku, maka apakah bahagiaku adalah bahagiamu juga?

***

"Cepet sembuh, bro." Adalah ucapan terakhir Dimas sebelum laki-laki itu menutup pintu dan membiarkan Gilang beristirahat. Ruangan itu berangsur dingin; bukan karena turunnya suhu, melainkan karena canda-tawa yang semula dibawa teman-temannya kini sudah lenyap diganti dengan hening konstan.

Gilang menghela napas panjang; mereka ulang kejadian tiga hari lalu, kecelakaan yang membuatnya terjebak di sini. Di rumah sakit. Tempat yang paling dibencinya.

"Udah gila gue," gumamnya, kemudian meraih ponsel yang belum dibukanya sejak siuman beberapa jam lalu. Notif ucapan lekas sembuh langsung masuk dengan nada dering yang tak putus-putus sampai tiga menit lamanya.

"Giliran gue hampir mati aja, pada nge-LINE." Ia diam sebentar. "Kalo gue mati beneran pada nge-LINE gak ya?" Dia diam lagi. "Kalo gue mati, LINE gue ikutan mati gak?"

Menyadari bahwa tidak akan ada yang menjawab pertanyaannya, Gilang tutup mulut sambil bergumam, "Berisik lu, Lang."

Matanya terpaku pada beberapa pesan dari Rena yang hampir tenggelam oleh pesan-pesan lain.

Rena: Lang, blm bangun ya? — 2d ago

Rena: Gue lagi di sekolah, pada nanyain lu. Masih blm bangun Lang? — Yesterday

Rena: Gue otw jenguk lu sama Risa & Laras. Blm bangun juga Lang? — 6h ago

Mau tak mau, Gilang menyengir. Dia melirik penunjuk waktu di ujung layar ponselnya; masih pukul sembilan malam lewat beberapa menit.

Jemarinya langsung menekan tombol voice call.

Satu detik, dua detik. Satu menit, dua menit. Tidak ada jawaban.

Dia memutuskan untuk mengirim pesan singkat,

Gilang: Gilang-nya udah bangun. Rena lagi tidur?

Lantas menaruh ponselnya di atas nakas.

Pandangannya beralih untuk menatap keluar jendela; malam itu, rembulan bersinar terang. Hal yang akhir-akhir ini luput dari perhatian Gilang, kini menjadi pusat perhatiannya. Langit malam. Bintang di langit. Sudah berapa lama Gilang tidak menatap ke atas? Mungkin selama ini ia terlalu sering melihat ke bawah, tempatnya berpijak. Sedangkan burung-burung terbang di atas kepalanya; begitu juga mimpi yang tergantung tinggi di atas sana.

Mimpi.

Gilang bertanya-tanya apa mimpinya selama ini. Gita, kakak perempuannya, dulu pernah berkata bahwa ia bermimpi ingin bahagia. Bahagia adalah kata yang asing bagi Gilang.

Bahagia menurutmu apa? Bahagia menurut mereka apa? Jika bahagia menurut Gilang adalah melihat Rena bahagia, maka bahagia menurut Rena apa?

Gilang bisa membayangkan seseorang bertanya, "Kenapa harus Rena?" lalu Gilang akan kehabisan kata untuk menjawab. Kenapa harus Rena? Kenapa tidak membahagiakan dirinya sendiri terlebih dahulu? Gilang juga tidak mengerti. Perihal perasaan, terkadang hal itu tidak bisa diterima dengan logika. Dan perihal perasaan, ada banyak pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.

Kata orang di luar sana, perasaan adalah sesuatu yang seharusnya kita kenali. Tetapi sejauh yang Gilang tahu, perasaannya masih menjadi sesuatu yang misterius.

Bunyi gerakan di balik pintu membuatnya langsung memejamkan mata. Seseorang masuk ke dalam ruangannya dengan langkah tenang. Ia bisa tahu tanpa melihat: seseorang itu adalah ibunya. Ralat. Ibu angkatnya.

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang