Mungkin, kita memang ditakdirkan seperti ini. Bisa bersama, meski hanya dalam mimpi.
***
Ada saat-saat dimana Rena merasa seolah waktu sedang berhenti berjalan. Seakan waktu, dengan konspirasinya bersama semesta, memerangkapnya dalam satu kejadian. Satu kejadian yang kemudian akan terus berada dalam ingatannya; seperti foto, yang diambil dalam satu saat, tetapi membekas hingga berabad.
Dan tanpa dikendalinya, Raffa-lah yang menjadi obyek di foto itu.
Tepat ketika Rena mengalihkan wajahnya dari jendela, pandangannya lantas bertemu dengan Raffa. Laki-laki itu masih terduduk di hadapan piano dengan jari menari, dahinya berkerut samar, dan tatapannya terpaku pada tuts demi tuts.
Raffa memang tidak melihat Rena, tetapi Rena melihat Raffa. Ia melihat Raffa, untuk kali ini, dalam artian bahwa ia juga melihat emosi yang berpendar di balik mata itu. Emosi yang selama ini berusaha laki-laki itu tekan sejauh mungkin di lubuk hatinya, tetapi ketika ia berhadapan dengan musik, seluruh emosi itu meluap. Ada suatu kesendirian di sana. Sebuah sepi, bukan karena ia tidak memiliki siapa-siapa. Melainkan karena tidak ada satu pun yang memahaminya. Sepi sebab pikiran dan perasaannya hanya disimpan seorang diri.
Rena tercenung. Selama beberapa saat, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Ia tidak hanya sedang menatap Raffa. Ia sedang menatap Raffa dan bagian dari dirinya yang lain. Bagian yang selama ini ingin Rena lihat, kini berada jelas di hadapannya.
Raffa, musik, dan kesendiriannya. Serta luka, yang mungkin sudah dibalut, tetapi tak kunjung sembuh.
Pada satu titik laki-laki itu berhenti bermain. Matanya beralih untuk menemui milik Rena, tersenyum, dan bangkit berdiri untuk mendekatinya. Tetapi perempuan itu tak kuasa untuk bertahan, ia secara refleks mengambil satu langkah mundur. Tubuhnya gemetar.
"Rena?" Suara Raffa terdengar jauh, jauh sekali.
Rena menggeleng. "Jangan...."
Jangan mendekat, bisiknya dalam hati. Tetapi kata-kata itu tak bisa keluar dari mulutnya. Raffa mengambil satu langkah maju, dan Rena mundur dengan jarak yang sama.
"Rena, kenapa?"
Rena memejamkan matanya.
Ia takut. Raffa begitu jauh..., lukanya begitu dalam. Rena tidak ingin melukainya lagi.
Dan dalam sekejap, semuanya buyar.
***
"RENA!"
Dua sumber suara langsung masuk ke pendengarannya: seruan ibu dan dering alarm.
"Raffa?" gumamnya agak linglung.
"Ra—apa? Ngigau kamu? Haduh, Rena. Ini udah setengah tujuh! Kamu mau telat? Mama bangunin kok susah banget sih!" Suara ibunya terdengar lagi, kali ini diiringi dengan tarikan selimut.
Otaknya mencerna dengan agak lamban. Pertama-tama ia menyempatkan diri untuk menghela napas lega, oh, cuma mimpi. Tetapi kemudian ia berseru panik, UDAH SETENGAH TUJUH!
Seakan dihentak, Rena langsung bangkit berdiri, menyambar handuk, dan berlari ke arah kamar mandi. Ibunya yang terpaksa meninggalkan dapur untuk membangunkan Rena hanya geleng-geleng kepala, kemudian terkekeh mengingat masa mudanya.
"Ma, Rena gak sarapan!" seru perempuan itu dari dalam kamar mandi, mengingat waktunya yang memang sudah mepet.
Ibunya menyahut dari dapur, "Mama tau! Mama bawain bekal aja ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...