[36] Kisah Kita: Aku, Kamu, dan Dia

1.7K 144 7
                                    




Ada begitu banyak kisah yang terjalin.

Salah satunya tentang aku, kamu, dan dia.

Aku mungkin bukan sang pemeran utama.

Tetapi setidaknya, kita pernah hampir bersama.

***

Pembina upacara sedang memberikan amanat ketika Gilang merasakan seseorang menatapnya dari belakang. Gilang ingin menoleh, tetapi tidak berani. Wali kelasnya memperhatikan dari depan; ia memang sudah terkenal menjadi biang rusuh di tengah upacara, dan untuk hari ini, Gilang sedang tidak ingin menjalani hukuman. Ia tidak mau melewati penampilan Rena dan Raffa.

Harus diakui, Gilang memiliki dua alasan mengapa ia tidak mau melewati penampilan gadis itu. Pertama, ia memang ingin sekali melihat Rena tampil dan memberinya tepuk tangan paling keras. Sedangkan kedua, Gilang ingin menilai Raffa.

Pikirannya mengembara ke sana ke mari; mengilas balik kali pertama ia melihat Rena, kali pertama mereka bicara, dan hal-hal selanjutnya yang menuntun mereka pada kisah tanpa judul ini. Gilang tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Rena akan berakhir; tetapi satu hal lain yang ia tahu:

Jika kisah ini ibarat panggung sandiwara, maka ia hanyalan pemeran sampingan.

Tidak lebih.

***

"Ren," Raffa berusaha menembus keramaian. Upacara sudah dibubarkan dan siswa-siswi merapat ke pinggir lapangan. Tubuhnya yang semampai bisa melihat Rena dengan mudah di antara kerumunan; gadis itu memang tidak menonjol, tetapi Raffa mengenalnya lebih baik dari siapapun, bahkan walau ia hanya melihat punggungnya.

Mungkin karena Raffa sudah terlampau sering melihat gadis itu berjalan dari belakang. Memperhatikannya dalam diam.

"Ren!" Ia menyelinap dan berhasil meraih tangan gadis itu.

Rena hampir limbung ke samping karena terkejut. Tangannya sedang memegang secarik kertas. Pandangannya tampak tidak fokus. Raffa tahu gelagat ini. Rena sedang berusaha menenangkan diri sambil membaca ulang lirik yang akan mereka tampilkan. Stage fright.

"Gue nyusul," kata Rena, suaranya tenggelam.

"Apa?"

"Gue nyusul!" ulang Rena. Ia menunjuk toilet yang berada di ujung koridor. Memberi isyarat dengan gerak tubuhnya.

Mau tak mau, Raffa mengangguk. Seberapa besar keinginannya untuk tetap di sisi Rena, ia tidak mungkin mengikutinya sampai ke sana, 'kan? Maka ia membiarkan Rena pergi. Pandangannya menyapu sekeliling; membaca keadaan.

Haruskah ia menunggu Rena di pinggir lapangan? Atau haruskah ia pergi ke Aula lebih dulu, dan membiarkan Rena menyusul seperti apa yang gadis itu bilang?

Raffa menimbang-nimbang sambil berjalan pelan tanpa arah. Siswa-siswi berjalan hilir-mudik di sekitarnya; mereka bercanda, tertawa, bertukar pandang. Sedangkan Raffa hanya diam, tersesat dalam pikirannya sendiri.

"Oops." Seseorang tak sengaja menabrak bahunya. Raffa menoleh; dan saat keduanya bertatapan, Raffa ingin sekali membuang padang.

Hanya saja, laki-laki yang menabraknya itu justru tersenyum. Senyumnya ramah. Bukan senyum congkak atau sinis.

Laki-laki itu menepuk bahunya dan bekata, "Sorry, bro. Tapi lo menghalangi jalan."

"Oh." Raffa berdeham. Canggung menggantung di antara keduanya. Keramaian sekitar seolah menghilang, meninggalkan mereka berdua dalam situasi tak mengenakan yang sepertinya hanya dirasakan oleh Raffa.

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang