Ia meraih tangan Raffa dan tersenyum. "Pulang?"
"Ayo."
***
Ketika mereka duduk berhadapan di kafe itu, Rena bertekad, mereka harus menjadikan potongan-potongan kisah mereka yang terpencar menjadi satu. Tentang apa yang sesungguhnya terjadi malam itu. Tentang apa yang tidak Rena katakan. Tentang apa yang tidak Raffa akui. Tentang semua yang menunggu untuk diungkap.
Tentang mereka yang tak pernah terucap.
Rena meraih secangkir tehnya yang tersaji di tengah meja. Menatap Raffa yang sedang mengaduk caramel macchiato-nya sambil mengetukkan jemari seirama musik yang mengalun: Dean Lewis – Be Alright.
Raffa bisa merasakan tatapan Rena, namun memilih untuk tidak membalasnya. Matanya menatap keluar jendela, sebelum akhirnya menatap bayangan mereka yang terpantul di sana.
Raffa mungkin saja brengsek dan egois, tetapi ia tahu apa yang tersembunyi di balik mata Rena. Dan ketika ia membalas tatapan gadis itu, Raffa sadar, ia menyembunyikan hal yang sama.
"Jadi.." Rena meletakkan cangkir tehnya. Tanpa perlu menyelesaikan kalimatnya, Raffa tahu apa yang Rena maksud.
Ia hutang satu penjelasan panjang.
"Gue gak tau harus mulai dari mana, Ren," gumam Raffa jujur.
"Semua harus dimulai dari awal."
Rena memperhatikan Raffa menggulung kemejanya hingga sebatas siku dan mengusap pergelangan tangan yang sempat Rena perhatikan tadi. Mereka diam selama beberapa saat, sebelum Raffa berkata, "Inget kapan terakhir kali kita main sepeda?"
Rena mengangguk. Ia masih ingat sore itu, tiga tahun lalu, ia berdiri di boncengan Raffa sebelum ia hilang keseimbangan dan membuat Raffa hilang kendali. Mereka jatuh, tubuh dipenuhi lumpur, dan pulang dengan disambut omelan dari Bunda Raffa.
"Gue cedera," ujar Raffa kemudian.
Tubuh Rena menegang. "Maksud lo..." Ia mengingat bagaimana tubuhnya jatuh menimpa Raffa—semuanya terjadi begitu cepat.
"Tendonitis," kata Raffa, sambil mengusap luka jahitan kecil yang berada di pergelangan tangannya, kini terlihat jelas oleh Rena. "Gue jatuh dan persis melukai tendon. Andai langsung ditangani secara medis, mungkin gak akan terlalu parah. Butuh 6 bulan sampai sembuh sepenuhnya, dan butuh beberapa waktu lagi sampai gue bisa main piano seperti sebelumnya."
Rena menatap Raffa dengan tidak percaya. "Jangan bilang itu alasan lo mengundurkan diri dari lomba duet itu...?" Rena sekilas mengingat malam ketika Raffa tiba-tiba menghilang. Malam ketika seharusnya mereka tampil di atas panggung. Malam dimana esoknya, ketika Rena bangun, Raffa sudah pergi tanpa pamit. Malam yang menjadi awal mula ia bertanya-tanya apa yang salah hingga saat ini, detik ini.
Raffa bergumam, "Gue minta maaf."
Ia memejamkan matanya sejenak. Hal yang paling sulit dari menjelaskan adalah ia tidak pandai berkata-kata—terutama jika hal tersebut berhubungan dengan perasaannya dan masa lalu yang ingin ia lupakan.
Tetapi Rena berhak untuk tahu kenyataannya.
.
.
Beberapa bulan sebelum kepergiannya, Raffa sadar ada yang berbeda. Rumahnya tidak sehangat dulu, senyum ibunya tidak selebar dulu, dan ayahnya tidak berada di rumah sesering dulu. Ada sesuatu yang mulai retak, hanya saja, Raffa tidak tahu apa penyebabnya.
Sebelum akhirnya, kejadian demi kejadian tersusun menjadi sebuah jawaban.
Ponsel ayahnya yang tertinggal. Pertengkaran di dapur. Bundanya yang menangis. Ayahnya yang tak pulang selama seminggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...