Yang hilang ditemukan, yang pergi kembali.
Tetapi kamu, selamanya di masa lalu.
***
"Lo siap?"
Rena mengangkat wajahnya. Menatap Raffa yang tidak membalas tatapannya. Mereka berdiri di belakang panggung, dengan masing-masing jantung berdegup dua kali lebih cepat. Setelah seling beberapa detik, Raffa akhirnya menunduk dan menjawab pelan, "Mhm. Gue ke toilet dulu."
Rena refleks meraih pergelangan Raffa begitu laki-laki itu membalikkan badan. "Tapi kita bentar lagi—"
Raffa mengernyit dan menepis tangan Rena dengan cepat. "Sorry. Gak akan lama kok."
Menghela napas panjang, Rena akhirnya melangkah mundur dan kembali ke tempat duduknya. Tangannya meraih surat dari Gilang. Membacanya dengan seksama.
***
Langkah kaki Gilang menggema di sepanjang koridor. Ia sudah memasuki area sekolah yang sepi. Sebagian besar murid berkumpul di lapangan dan aula, menunggu perlombaan di mulai. Sedangkan ia dan temannya berkumpul di halaman belakang paling pojok, siap menikmati hidangan mie ayam yang dibeli setelah memanjat pagar sekolah dan mengerjai penjaga gerbang.
"Lo kaga makan?" Dimas mengunyah mienya, menatap Gilang yang malah sibuk dengan ponsel.
"Hah, apa?" Gilang merespon beberapa detik kemudian.
Dimas memutar bola matanya dan mengibaskan tangan. "Makan tuh hp."
Perhatian beberapa temannya yang lain; Kevin dan Geka, yang semula terpusat pada pertandingan bola semalam, langsung teralih pada Gilang. "Rena gimana Rena?"
Untuk pertanyaan tersebut, Gilang tidak butuh waktu beberapa detik untuk menjawab. Melainkan secepat kilat. "Sehat. Baik. Tambah cakep."
Kevin tertawa. "Tambah cakep apalagi kalo sama cowok lain ya, Lang?"
Gilang tanpa sadar mengepalkan tangannya. "Gak usah kayak ta* dong lo." Matanya memang masih tertuju pada ponsel, tetapi giginya menggertak dan siap menghajar kapan saja. Pasalnya, ia tahu Kevin sengaja memancing emosi.
Dimas, dengan kepala dingin, berusaha menenangkan. "Kev, makan aja udah gak usah bacot. Lang, bentar lagi lomba kayaknya mulai tuh. Lo gak mau ke aula?"
Dengan tangan terangkat, Kevin menggedikan bahu. "Lah, salah gue nih? Lo yang buka percakapan di tengah kita, masa gue gak boleh join?"
Di antara mereka seolah ada sinyal tak kasat mata berserukan 'Danger! Danger!'.
Gilang tak segan meluapkan emosinya saat itu juga. Laki-laki itu sudah terlalu lama dan terlalu banyak memikul beban; di kedua pundaknya terdapat begitu banyak hal yang memberatkan dan membuat langkahnya seolah terseok. Ia seorang diri. Ia tersesat. Ia mencari jalan pulang, tetapi ia kehilangan rumah.
Dimas tidak ingin Gilang lepas kendali. Maka ia bangkit berdiri, dan menarik kerah belakang Gilang agar ikut bersamanya.
"Ngapain sih? Lepas, bego." Gilang memberontak begitu mereka sudah beberapa langkah menjauh.
Dimas membuang sisa mie ayamnya ke tong sampah. "Salah lo, gue kehilangan selera makan."
"Gue gak nyuruh lo belain gue," ketus Gilang, sambil membenarkan kerah kemejanya yang kusut dan melonggarkan dasi. Matanya menatap Dimas tajam; memperingati, jika ia melakukan satu hal lagi yang membuatnya marah, maka ia akan benar-benar meledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...