Love is a game
of tic-tac-toe,
constantly waiting
for the next x or o
– Lang Leav
***
"Apa? Musikalisasi puisi bareng Rena?" Dimas lah yang pertama kali memberi reaksi waras, sedangkan temannya yang lain sibuk beruhuk-uhuk ria.
"Modus," cetus Erghi.
"Gak modus," elak Gilang dengan memberi penekanan pada kata pertama. "Demi kelas, bro. Mengharumkan IPA-3."
"Alah, pencitraan kali," Erghi masih menyindir.
"Saudara Dimas, berpikiran negatif itu tidak baik." Gilang sok-sok menggeleng, kemudian mengalihkan perhatian pada Rena yang masih beruhuk-uhuk –karena ia benar-benar tersedak minumannya. "Gimana? Mau gak, Ren?" tanyanya.
Rena mengibaskan tangannya sambil terbatuk, lalu memberi isyarat seperti 'bentar, gue napas dulu'.
"Iya, iya, silakan tuntasin uhuk-uhuknya," sahut Gilang santai.
Si ketua kelas menggeleng tak setuju. "Tugas baca puisi aja lo remed dua kali, Lang," katanya.
"Eh, tapi nilai seni musik gua bagus ya, nyet!" bantah laki-laki itu tak setuju, mengundang koor dari teman-teman sepermainnya yang langsung mengimitasi Gilang ketika ambil nilai menyanyi lagu pop tahun lalu.
"Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiriii." Suara Erghi terdengar paling nyaring, beradu dengan suara bariton milik Kevin yang paling rendah dan nyaris tak bernada.
Gilang mendengus tak terima. "Gitu-gitu nilai gue yang paling tinggi, kalo–"
"Lo tetep gak bisa kalo soal puisi." Dimas memotong.
"Tapi gue bisa ngiringin pakai gitar–"
"Tampang lo terlalu ambyar buat ikut gituan."
Kalila ikut menyeletuk, "Gilang tampangnya kayak pedofil nahan berak sih."
"Hus, Kalila! Cantik-cantik bahasanya gak elit!"
Semua anak terbahak lagi, kecuali Rena yang justru mengatup bibirnya rapat-rapat ketika tak sengaja bersitatap dengan Raffa. Ekspresi laki-laki itu begitu sulit ditebak; dingin dan tenang, tetapi Rena bisa menangkap tatapan mengejek dari kedua matanya, terutama ketika laki-laki itu Gilang.
Rena mendengus, emosinya tiba-tiba terpancing.
"Gilang bisa!" ujar Rena, cukup keras. "Dia cukup kompeten kok."
Gilang tersenyum puas pada Dimas. "See?"
Dimas mencibir, masih tampak ragu.
"Jadi, Ren, lo mau?" Gilang mengalihkan tatapannya dari Dimas pada Rena.
Rena menelan ludahnya. Tangannya tiba-tiba berkeringat, ragu. "Rrr..."
"Lo bisa." Gilang meyakinkan. Ia tidak sekadar bicara omong kosong, melainkan benar-benar yakin bahwa perempuan itu bisa; semua terpancar dari tatapannya yang lurus dan sungguh-sungguh. Bibirnya yang melengkung menciptakan senyum dan berkata, "Gue yakin lo bisa. Masalahnya cuma, lo mau atau gak?"
Dari kursi depan Sekar berujar, "Nanti gue bantu bikin puisinya, Ren." Bibirnya tersenyum memberi semangat.
Kalila menyambar, "Nanti gue bantu make up-in, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...