Yang dulu biarlah berlalu, yang 'pernah' biarlah punah.
Tapi kamu, entah bagaimana, membuatku goyah.
***
4:32 PM
Dengan seragam yang sudah diganti dengan kaos biru dan jeans, Rena berlari menyusuri jalan. Rambutnya yang semula dikuncir, kini digerai menutupi sebagian punggung. Keningnya berkeringat. Ia telat setengah jam lewat.
Calling Raffa... No answer.
Calling Raffa... No answer.
Rena mengumpat dalam hati. Ia sudah tiba di taman dan tidak bisa menemukan kehadiran laki-laki itu dimana pun. Pikirannya segera kalut: apa Raffa pergi karena malas menunggu? Apa Raffa pergi karena tidak percaya ia akan datang? Apa Raffa—
"Ren?"
Tubuhnya tersentak. Rena segera beralik untuk mendapati Raffa yang baru saja menepuk pundaknya. Wajah laki-laki itu datar, di tangannya terdapat sebotol minuman isotonik yang kemudian disodorkan padanya.
"Kenapa lari-lari?" Raffa bertanya, nadanya dingin, tetapi entah kenapa Rena merasa lega. Ia menerima sodoran minuman isotonik itu sambil tersenyum tipis, memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya.
"Mm, you're welcome, buat minumannya," sindir Raffa.
"Thanks." Rena tertawa kecil. "Gue lama ya?"
Raffa tidak menjawab. Pandangannya sudah beralih pada anak-anak yang sedang bermain layangan. Rena tidak ingin berpikir terlalu jauh, tetapi ada sesuatu dari tatapan Raffa yang membuatnya bernostalgia. Dulu, mereka berdualah yang berada di sana. Kemudian waktu berlalu, mengubah apa yang mereka pernah punya. Kini peran mereka berbeda. Tak lagi bersisian, tak lagi berdampingan. Alasan mereka tersenyum dan tertawa tak lagi sama.
"...Rena?"
Pandangan mereka bertemu. Raffa sudah beberapa langkah di depan dengan kepala menoleh ke belakang. Tangannya tidak terjulur, melainkan tersembunyi di balik saku jeans-nya. Namun Rena tahu, tatapannya berkata 'Ayo'.
Rena membalas tatapannya tanpa berkata-kata. Memasukkan minuman dari Raffa yang tinggal separuh ke daam tas. Kemudian mengikuti langkah laki-laki itu dari belakang. Menuju rumahnya.
***
Rumah yang tak lagi Rena kenal.
Dulu, sebelum Raffa pindah, Rena acapkali main ke rumahnya. Entah untuk bermain atau mengajaknya mengerjakan tugas sekolah bersama. Tante Filda, Ibu Raffa, selalu menyambutnya sambil menawarkan beberapa makanan kering. Jika tidak kerja, Tante Filda menghabiskan waktunya di dapur, membuat kue. Lalu ada Rasya, kakak Raffa, yang pernah mengajarinya membuat amigurumi (boneka yang dibuat dari benang wol). Kadang mereka main bertiga, jika Rasya sedang tidak di rumah sakit.
Sekarang ia berada pada satu titik kesadaran: betapa semua itu kini sudah berada di luar jangkaunya. Apa kabar Tante Filda? Apa kabar Rasya? Bagaimana cara ia menanyakan hal itu, tanpa membuat Raffa muram? Atau—apa Raffa bahkan tahu bagaimana kabar mereka? Laki-laki itu sudah berubah begitu banyak, Rena sudah tak lagi mengerti jalan pikir dan perasaannya.
"Tunggu di sini."
Raffa meninggalkannya di ruang tamu untuk pergi ke lantai atas. Punggungnya menjauh seiring Rena beralih untuk melihat sekelilingnya; dinding broken white yang dihias dengan beberapa bingkai. Hanya saja, tak seperti dulu, yang bingkainya diisi dengan foto keluarga. Kini bingkai itu hanya diisi dengan lukisan panorama.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...