Mungkin memang sudah takdirku untuk terus mengejar, tanpa sempat menggapai.
***
"Woy!" Pintu kelas terjeblak terbuka, memunculkan sosok Dimas yang penuh keringat dan tampak tergesa. "Bu Retta lagi on the way, jangan berisik lo semua!"
Seruan Dimas lantas membangunkan Gilang yang semula sedang menelengkupkan kepala; katanya sih, memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk beristirahat–alias tidur, disusul dengan carut-marut heboh dari gerombolan kaum adam yang tengah main UNO di belakang.
"Umpetin di kutang lo, ege," perintah Dimas kepada Geka yang kewalahan membereskan kartu-kartu tersebut.
Geka mendengus kesal. "Nanti kalo nonjol-nonjol gimane, yang ada gua dikira banci Thailand." Tangannya langsung meraup semua kartu tersebut dan menyembunyikannya ke laci meja.
"Kalo itu disita, gua juga yang kena!" sahut Dimas ikut kesal. Ia langsung mengambil alih semua kartu tersebut dari laci meja Geka dan menaruhnya ke dalam kotak bekal; tidak peduli dengan bau nasi basi yang menguar ketika tutupnya dibuka. Tapi setidaknya, tempat tersebut tidak terlalu berisiko jika dilakukan razia dadakan.
Guru mana yang mau membiarkan hidungnya bertarung dengan bau menyengat tersebut?
"Yee, Dimas. Mentang-mentang kemaren dipilih jadi ketua kelas jadi sok alim," sindir Gilang yang sudah mengumpulkan kesadaran sepenuhnya, meski matanya masih agak merah dan sayu.
Bisa terlihat telinga Dimas memerah, yang disambut dengan tawa teman seperkumpulannya. Tetapi laki-laki itu tidak menyahut apa-apa.
Geng cewek di pojok kelas sibuk memasukkan sisir, bedak, dan cermin seukuran telapak tangan ke dalam tas, sedangkan Rena–yang sedari tadi benar-benar mengerjakan tugas selama para guru absen–hanya mendelik sekilas untuk menatap kehebohan kecil tersebut. Ia lalu kembali membaca sederetan soal dengan tenang.
Hal yang sama dilakukan oleh laki-laki yang duduk persis di samping mejanya. Raffaendra Aidan Giovanno.
"Selamat siang," sapa Bu Retta seiring pintu kelas mengayun terbuka. Bunyi ketuk samar terdengar dari dua sepatu haknya yang melangkah mendekat ke meja guru.
"Siang, Bu Retta," sahut mereka serempak; berusaha tampil tertib setelah penyimpangan yang mereka lakukan. Bahkan Geka tiba-tiba berdiri dan membungkuk –melakukan tindakan sok sopan yang sesungguhnya terlalu berlebihan.
Bu Retta menatap tajam ke seluruh penjuru hingga kelas berangsur hening. "Akan ada sosialisasi dari anggota OSIS, jadi ibu harap kalian tenang. Terutama yang cowok, jangan malah genit! Denger gak, Gilang?"
Rena mendelik ke belakang, memicingkan matanya pada Gilang yang hanya menyengir lebar.
"Denger, Bu," jawabnya.
Bu Retta memasang tampang galak.
Pasalnya, memang pernah ada kejadian Gilang menggoda habis-habisan seorang anggota OSIS sampai-sampai perempuan tersebut absen selama tiga hari. Ya, sebegitu enggannya untuk bertemu Gilang.
"Permisi." Pintu diketuk tiga kali, disusul dengan kehadiran siswi yang bernama Tiara, ditemani Aleen dan Richard–ketiganya anggota OSIS. Lantas Tiara berkata, "Kami mau sosialisasi tentang perayaan 17 Agustus nanti."
"Silakan," sahut Bu Retta sambil tersenyum, mendadak lembut.
Tiara maju beberapa langkah. "Selamat siang, teman-teman. Kami dari OSIS mau menyampaikan beberapa hal. Pertama-tama, saat perayaan 17 Agustus tahun ini, kita akan kedatangan tamu dari Duta Perancis yang berniat bekerja sama dengan sekolah kita. Karena hal tersebut, akan diadakan beberapa kegiatan khusus yang wajib diikuti seluruh siswa."
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Roman pour AdolescentsAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...