[20] Nyanyian Hujan

3.9K 356 15
                                    

"Kamu habis dari mana?"

Pintu di belakang punggungnya tertutup dengan perlahan. Sisa-sisa gerimis menetes dari ujung-ujung rambutnya yang baru dipangkas. Pakaiannya lembab. Keningnya basah. Kepalanya tidak menunduk, tetapi wajahnya tak berekespresi. Raffa memutuskan untuk membalas tatapan ayahnya beberapa detik kemudian.

"Habis ketemu Ray," jawabnya. Tidak sepenuhnya berbohong, tetapi rupanya jawaban itu tidak memuaskan sang ayah.

Dengan satu hentakan kasar, sebuah gelas dibanting ke sembarang arah. Pecah berkeping.

"Kamu malu-maluin Ayah!" Seruannya mengisi seluruh penjuru ruang tamu. Pembantu rumah tangga mereka mungkin mendengar, namun memutuskan untuk tidak ikut campur. "Ayah sudah bilang, acaranya dimulai jam 7! Sepenting itu urusanmu sama Ray? Sepenting itu sampai kamu -"

"Raffa udah bilang kalau gak bisa datang, Yah."

"Sekarang kamu berani nyela omongan orangtua?"

Raffa menggigit lidahnya. Mulutnya terasa kering ketika berkata, "Maaf," dengan suara pelan.

Ia tahu jelas perintah untuk mengikuti gala dinner yang diadakan perusahaan ayahnya - yang mungkin, sebentar lagi, akan menjadi perusahaan Raffa juga. Sang ayah sudah secara terang-terangan berencana untuk melibatkan Raffa dalam mengurus perusahaan.

Tapi bukan itu yang Raffa mau.

Gerimis di luar menderas menjadi rintik-rintik hujan. Rintik-rintik yang berjatuhan seiring dunia Raffa yang meluruh di hadapannya. Menjadi puing-puing tanpa harapan.

Aku gak tertarik dengan bisnis Ayah. Fakta itu jelas disadari olehnya, tanpa ada keberanian untuk diungkapkan. Raffa menelan egonya sendiri demi menjadi anak baik di hadapan sang ayah. Demi sesuatu yang mungkin tidak bisa diperolehnya.

"Maaf, Ayah," katanya sekali lagi.

Napas ayahnya masih menderu, tanda emosinya belum sepenuhnya surut. Tatapannya yang tajam terhunus pada anak laki-laki satu-satunya, bimbang antara ingin menyudahi percakapan atau masih ingin meluapkan amarah. Namun selang tiga detik, urat-urat di keningnya merileks.

"Kamu inget kalau besok ada kerjaan di kantor, 'kan?"

Raffa mengangguk.

"Ayah gak mau denger alasan lagi. Besok, sepulang sekolah, kamu harus udah ada di kantor. Urus semua yang harus kamu urus."

"Ya, Ayah."

Dengusan pelan terdengar sebelum langkah kaki ayahnya menjauh. Samar-samar Raffa masih mendengar, "Jangan tidur terlalu malam," sebelum punggungnya menghilang di balik pintu. Tetapi kemudian ia juga mendengar, "Kakaknya pasti bisa lebih baik. Adiknya sama sekali gak becus."

Raffa tersenyum tipis. Matanya panas, bukan karena air mata. Ia hanya ingin terlelap, lari dari kenyataan. Mimpi buruk mungkin terasa lebih menyenangkan, setidaknya untuk saat ini.

Ketika Ayah menggugat perceraian dari Ibu, kenapa Ayah tidak memilih untuk mengasuh kakak saja?

Masih dengan pakaian basah, tubuhnya jatuh ke atas kasur.

Ah, ya. Kakak 'kan penyakitan.

Raffa tertawa pahit.

***

Sudah hampir tengah malam ketika Rena memutuskan untuk merebahkan tubuh di atas kasur. Ia tidak berniat tidur, namun tubuhnya butuh istirahat. Matanya masih terbuka, tanpa niat dipejamkan. Sebab benaknya masih dipenuhi dengan berbagai pemikiran. Salah satunya tentang Gilang. Dan Raffa. Serta segalanya sesuatunya yang telah terjadi di masa lalu.

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang