Tentang segala yang bukan, yang sebatas 'mungkin' di antara angan, yang gugur sebelum diharapkan.
***
Satu hal yang pasti, memang tidak ada seorang pun yang mampu hidup di masa lalu. Termasuk Rena, begitu juga Raffa. Sejak hari dimana Raffa menjelaskan semuanya, memang, hubungan mereka membaik. Tetapi rasanya seperti memulai dari awal.
Rena kembali mempelajari Raffa, Raffa kembali mempelajari Rena.
Dan ketika Raffa menceritakan satu hal lain tentang dirinya, Rena tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
***
"Oke. Gue paham," kata Gilang, sambil mengerutkan kening. Wajahnya jelas-jelas menyatakan hal sebaliknya.
Rena mendengus. "Serius, Lang! Paham apa nggak?" Pensil di tangannya bergerak untuk melingkari materi integral yang baru saja ia terangkan pada Gilang. "Pokoknya, lo harus banyak latihan. Lo masih punya catatatan yang waktu itu gue kasih 'kan? Pelajarin juga dari sana. Terus ini—"
"Gak, gak, bentar." Gilang mengangkat tangannya. "Gue paham tentang itu."
Mata Rena beralih untuk menatapnya dengan skeptis.
Gilang menghela napas. "Coba, ulang, yang lo bilang sebelumnya."
"Yang gue bilang sebelumnya?" Ganti Rena yang mengernyit, berharap Gilang mengganti topik.
Tetapi Gilang selalu keras kepala. "Lo tau maksud gue. Jangan pura-pura bego. Di sini yang bego cuma gue." Ia menunjuk soal integral yang berusaha ia pecahkan sedari tadi namun gagal.
Rena menyerah, ia meletakkan pensil di tangannya dan menutup buku soal yang sudah lusuh dan penuh coretan. Fox Crime terputar di hadapan mereka dengan volume kecil, samar-samar mengisi keheningan di antara mereka yang berlangsung terlalu lama.
Gilang bergerak untuk bertopang dagu di meja, kepalanya menoleh ke arah Rena. "Reeen," rengeknya sebelum tangan Rena terangkat untuk menutup mulutnya. "Hfhffffhhmmp!"
"AW, GILANG!" Tangan di mulutnya pindah ke kening dan memberinya jitakan kencang. "JANGAN GIGIT!"
Tawa keluar dari mulut Gilang seiring Rena mengusap tangannya pada kemeja flanel laki-laki itu.
Gilang tahu ia sudah menang. "Makanya, ulang Tadi lo bilang apa? Gue masih gak paham tentang itu."
"Lo emang selalu gak paham," cetus Rena, dalam hati bertanya-tanya sejak kapan rencana belajar bersama mereka di rumah Rena berubah menjadi sesi curhat.
Tadi, Gilang yang curhat tentang kebimbangannya menentukan cita-cita. Sekarang, Rena yang dipaksa curhat tentang kebimbangannya menentukan... ah.
Tangannya tanpa sadar memainkan ujung buku, menyobek kertasnya kecil-kecil sampai Gilang mengambil alih dan Rena menghela napas panjang.
"Gue sayang Raffa, Lang."
Gilang menatapnya dengan bibir terkatup rapat. Matanya memancarkan sesuatu yang tidak bisa Rena baca. Hingga pada akhirnya laki-laki itu tersenyum, mengacak rambutnya, dan berkata, "So my Rena is in love?"
My Rena.
Rena tidak melewatkan kata itu, tetapi ia memilih untuk menggerutu karena rambutnya yang sekarang berantakan dan Gilang hanya tertawa.
"Terus kenapa lo keliatannya stress banget, hm? Baru pertama kali jatuh cinta?" goda Gilang.
Rena tanpa sadar bergerak untuk mengambil kertas lain dan mulai menyobeknya kecil-kecil lagi. Gilang membiarkan. Faktanya, ia butuh pengalihan, selagi ia mencari keberanian. Keberanian untuk mengakui apa yang ada di hatinya. Keberanian untuk menghadapi apa yang selama ini ia hindari. Keberanian untuk menatap mata Gilang, dalam-dalam, selagi berkata,
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...