Dinding kokoh itu, yang berdiri di antara kita, siapa yang membangunnya?
Aku atau kamu?
***
"Lo harus tau." Risa menyeret kedua sahabatnya ke pinggir lapangan. Perempuan dengan rambut dikepang itu baru saja berdesak-desakkan untuk mengecek mading yang berada di koridor utama. Tatapannya berubah serius.
"Apa? Apa?" Laras berhenti meneguk susu coklatnya yang dikemas dalam kotak. "Lo udag liat madingnya? Kita sekelas gak?"
Rena memperhatikan wajah Risa lurus-lurus. Menunggu kelanjutan kalimat perempuan itu.
"Gini." Risa menghela napas panjang. "Menurut pembagian kelas tadi, kita..."
"Santai aja," sela Rena. Ia berdeham. "Jangan sok serius gitu."
Laras mengangguk menyetujui. "Gue jadi tegang kalo lo kayak gini."
"Pelan-pelan aja, Ris."
"Tarik napas dari hidung."
"Jangan keluarin lewat pantat."
Risa melotot. "Heh! Apaan sih lo pada."
Laras terpingkal mendengar guyonannya sendiri, yang langsung disusul tawa kecil dari Rena.
"Apaan sih Ras, ngelawak sendiri ketawa sendiri," katanya sambil masih cekikkan. "Gak cocok lo jadi pelawak."
Risa memutar bola mata. "Kalian tuh ya, di saat gue bercanda, kalian serius. Di saat gue serius, kalian yang bercanda!" serunya kesal. Kepangan rambutnya berayun ketika kepalanya bergerak-gerak.
"Ngakak, rambut lo," sahut Laras sambil masih tertawa.
Beberapa murid yang kebetulan melintasi mereka hanya melirik sekilas sambil sedikit mengernyitkan dahi. Sebagian dari mereka sudah tidak terlalu heran dengan gerombolan tiga orang itu yang sering aneh-aneh. Entah tiba-tiba tertawa keras, atau tiba-tiba saling sikut di tengah lapangan.
"Guys!" Si rambut dikepang berkacak pinggang. "Serius. Fokus."
Mendengar suara Risa yang meninggi, kedua sahabatnya langsung diam. Masing-masing menyimpan tawa dalam hati ketika melihat rambut Risa, yang entah bagaimana–mungkin karena tertiup angin atau karena terlalu emosi, kepangannya tampak mencuat-cuat keluar hingga rambutnya tampak seperti berdiri.
Rena mengatupkan bibirnya kuat-kuat dan Laras menggigit sedotannya sekeras mungkin agar tawanya tidak menyembur keluar.
"Ok, bagus." Risa menurunkan tangannya yang semula di pinggang. "Gue sama Laras masuk kelas 12 MIPA-2," deklarasinya, membuat Rena mengangkat alis.
"Gue?" tanya perempuan berambut sepunggung itu. Tawa tertahannya seketika lenyap. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
Risa memejamkan matanya sejenak dan mengembuskan napas pelan-pelan. "Lu ada di kelas–"
"Jangan bilang..." Laras melirik Rena ngeri.
"–kelas 12 MIPA-3."
Hening. Ketiganya sama-sama terdiam. Rena tampak masih mencerna seolah Risa barusan berbicara dengan bahasa Russia, sedangkan Laras dan Risa menatapnya dengan tatapan prihatin.
"Gue–hah? apa?"
"Gue? Jadi duta shampoo lain? HAHAHA–"
"Ras, gak lucu."
"Ok, maaf."
Rena menelan ludahnya, mendadak serat. "MIPA 3?" ulangnya lagi.
Pasalnya, sekolah yang mereka tempati saat ini memiliki sistem pembagian kelas sesuai dengan kemampuan akademik siswa. Dan menurut pengamatan Laras, hal tersebut dikarenakan agar kemampuan rata-rata murid sekelas tidak terlalu timpang sehingga guru bisa menyesuaikan metode pengajarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...