Akan ada saatnya kau sadar;
bahwa sudah terlambat bagimu
untuk menyadari apa yang seharusnya kau sadari***
Dhysta melangkah keluar ruang musik dan bersandar pada dinding. Suara detak jantungnya terdengar jelas di telinga, melebur dengan riuh-rendah pelatihan paskibra yang terdengar sayup-sayup dari lapangan. Matanya terpejam sesaat, sebelum hela napas meluncur dari bibirnya dengan terputus-putus.
Satu, dua, tiga ... dalam hitungan kelima, deru napasnya sudah kembali normal. Dhysta membuka matanya dan menatap kosong keluar jendela koridor. Ia sendiri bahkan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Lebih tepatnya, ia tidak percaya dengan banyak hal terkait tindakannya sendiri akhir-akhir ini.
Dhysta merasa asing dengan dirinya sendiri.
Kakinya melangkah menuju lantai bawah, menghindari rute yang mungkin akan mempertemukannya dengan Raffa.
Demi lo, batinnya. Demi lo, Raf. Maaf.
***
Menurut Rena, suasana dalam ruang musik hanya memiliki dua kemungkinan: sangat berisik, atau sangat sunyi. Ketika ada anggota club band yang berlatih, berbincang di dalam ruang musik rasanya mustahil. Perlu berteriak agar bisa melampaui bisingnya alat musik. Sedangkan ketika tidak ada seorang pun yang berlatih ... rasanya terlalu hening, tidak ada suara apapun, hingga terkadang telinga terasa pekak. Peredam suara yang membendung pada setiap sisi membuat ruang musik seolah terisolasi dari dunia luar. Tidak ada suara yang terdengar. Hanya gerakan tubuh dan deru napas.
Tetapi tidak kali ini.
Rena memang tidak mendengar suara apa pun, namun kepalanya serasa bising. Disesaki oleh pertanyaan-pertanyaan. Dipenuhi dengan bimbang dan amarah dan .. entah, berbagai hal lain yang tidak Rena pahami. Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu sedikit jawaban. Atau mungkin, belum ada jawaban.
Dia mendekat ke arah jendela dan menyibak tirainya. Cahaya berlomba masuk dari berbagai celah, mengisi matanya dengan sesuatu yang cerah. Rena berharap tubuhnya bisa menyerap sinar matahari, menerangi bagian-bagian dari dirinya yang gelap dan tak tersentuh.
Lagi, pikirnya, berandai cuma-cuma.
Rena sedang memperhatikan kegiatan di halaman belakang dari jendela ketika pintu ruang musik terbuka. Raffa melangkah masuk sambil menggulung lengan sweater-nya yang menutupi kemeja. Ia memutuskan untuk tidak berkata apa-apa sampai laki-laki itu yang angkat suara.
Dan begitu laki-laki itu angkat suara, yang keluar hanya, "Ekhm."
Rena berbalik dan bersandar pada jendela. Raffa hanya meliriknya sekilas, lalu duduk di balik piano yang beberapa menit lalu ditempati Dhysta. Tangannya mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tas.
"Sini," katanya. Maka Rena mendekat. Raffa menengadah untuk menangkap tatapannya. Tepat ketika ia hendak bicara, mulutnya kembali tertutup. Ia menyadari sesuatu. "Lo kenapa?"
"Gak apa-apa." Jawaban yang bukan merupakan jawaban.
Raffa mendengus. Ia menaruh kertas di tangannya pada piano rack, lalu bangkit berdiri untuk memindahkan bangku ke samping Rena. Mengisyaratkan perempuan itu untuk duduk. Tak sampai tiga menit, ia kembali bertanya, "Lo kenapa?" Suaranya melembut. Tatapannya tercurah dengan satu sirat penuh perhatian.
Sesaat, dan hanya untuk sesaat, Rena merasa Raffa-nya telah kembali.
Laki-laki itu kemudian mengalihkan pandangannya pada piano dan menghela napas panjang. Bibirnya yang semula terkatup rapat terbuka untuk berkata, "Kalo lo kayak gini, kita gak akan bisa latihan."
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...