"Rena, tunggu!"
Gilang buru-buru mengejar perempuan itu yang berjalan keluar kelas dengan tergesa. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, Rena memutuskan untuk menghampiri Bu Retta di ruang guru dan menyampaikan protesnya. Ia masih tidak terima jika harus maju menjadi perwakilan musikalisasi puisi dengan Raffa, tanpa persetujuan terlebih dahulu. Ia bahkan tidak tahu bagaimana reaksi laki-laki itu ketika mendengar hal tersebut. Ia terlalu sibuk menekan emosinya dalam-dalam agar tidak meluap.
Mereka nyaris berkejaran sepanjang koridor lantai tiga. Langkah kaki Rena yang cepat-cepat berlomba dengan langkah Gilang yang lebar-lebar, sehingga akhirnya posisi mereka bisa sejajar. Keduanya berhadapan di tengah koridor. Suasana di sekitar itu cukup sepi sebab seharusnya mereka tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti pelajaran pertama.
"Rena–" Kata-kata yang hendak Gilang utarakan mendadak buyar. Ada sesuatu yang mencelus di relung hatinya begitu Rena membalikkan badan untuk menatapnya dari kedua mata itu; yang menyiratkan amarah dan kekecewaan yang besar.
"Lo gak bilang sama gue!" Rena mati-matian menahan suaranya agar tidak meninggi dan membuat keributan. "Lo... lo tadi bilang apa? Bukan masalah besar? Bukan?"
Gilang membuka mulutnya, tetapi lagi-lagi tidak ada kata-kata yang keluar.
"Lo tau gue gak suka sama dia!" bentak Rena berapi-api. "Lo tau gue sebisa mungkin menghindari dia! Tapi–" Rena ikut kehabisan kata-kata. Amarahnya sudah sampai dipuncak. Ia memalingkan wajahnya, mencoba untuk tidak membiarkan seluruh emosinya pecah. "Kenapa lo gak kasih tau gue?" katanya pelan.
Gilang menghela napas panjang. Ia kemudian berujar –nyaris tak terdengar. "Gue minta maaf."
Kepala Rena yang semula dipalingkan perlahan bergerak untuk membalas tatapan Gilang. Bibirnya hendak mecekah lagi untuk memberi argumen bahwa ia tidak menerima permintaan maaf dan bahwa permintaan maaf tidak akan merubah apa-apa. Tetapi kemudian kilat menyesal yang tersirat jelas pada mimik wajah Gilang membuat Rena menahan diri. Perempuan itu ikut menghela napas, dan menahan semua protesnya untuk sesaat.
"Gue sama keselnya kayak lo, Ren. Ini bukan cuma gak adil buat lo, tapi juga buat gue," jelas laki-laki itu setelah Rena bisa mengendalikan diri. "Tapi toh kita bisa apa? Dimas, Sekar, Kalila–semuanya, udah berusaha ngomong sama Bu Retta. Percuma. Bu Retta udah gak bisa dibujuk."
Rena merasa ada ribuan beban yang menimpa pundaknya. Tangannya terangkat untuk mengusap wajah, berharap dengan begitu semua kesialannya di pagi ini bisa sirna. Ia kemudian bertutur lamat-lamat. "Entah, Lang... Tapi gue mulai nyesel udah ambil langkah pertama buat keluar dari zona nyaman. Kalo tau risikonya sebesar ini–"
"Kalo lo nyesel, lo bisa mundur," sela Gilang cepat. Matanya memicing. "Tapi jangan harap lo bisa merubah apa-apa. Lo bakal selamanya tinggal di zona itu. Silakan menikmati hidup lo yang membosankan. Silakan simpen semua rahasia-rahasia lo dan jangan biarin orang lain tau. Silakan menderita dengan kenyataan yang berusaha lo tolak dari dunia."
Gilang menandaskan ucapannya dengan tegas sebelum berbalik untuk meninggal Rena. Pergi begitu saja setelah menyelesaikan percakapan mereka dengan sepihak.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rena tak bisa menahan sesuatu menggenang di pelupuk matanya.
***
Risa yang baru memotong rambutnya sampai sebahu mengetuk pintu 12-MIPA-3 beberapa kali. Kalila yang kebetulan ingin pergi ke kantin menjadi sasarannya bertanya. Sebab pasalnya, sudah sedari tadi ia melongok ke dalam dan sosok Rena tak kunjung kelihatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...