Pada setiap pertemuan, ada perpisahan yang menanti.
***
Esok paginya Rena terbangun dengan perasaan aneh.
Rena bisa merasakan darah pada tubuhnya mengalir; jantungnya berdetak amat cepat, sehingga ia harus mengembuskan napas berkali-kali agar bisa terlihat tenang.
Apa ini yang disebut antusias berlebih? Jika ya, rasa-rasanya sudah lama sekali Rena tidak merasa seperti ini. Terakhir kali mungkin sekitar... empat tahun lalu? Sebegini besarkah dampak teori mengenai zona nyaman yang dijabarkan Gilang kemarin?
Ia tidak tahu apa yang sedang menantinya di depan sana. Ia tidak tahu rencana apa yang sedang disusun semesta untuk menggariskan takdirnya. Tetapi hal tersebut membuat jiwanya terpacu untuk menguak sesuatu yang belum terungkap; sesuatu yang hilang dan belum kembali.
Dan Rena tidak tahu apakah itu semua akan bermuara pada suatu hal yang baik, atau justru menjadi patah hati selanjutnya.
Ia tidak bisa menahan rasa takut dan ragu itu untuk tidak menyerang lagi.
"Ren?" Sebuah tepukan pada pundaknya membuat ia mendongak. Matanya segera menangkap wajah ibunya yang tetap ayu meski tampak letih.
"Kok bengong aja dari tadi. Liat tuh udah jam berapa. Kamu mau telat?" Alih-alih menegur, suara ibunya lebih terdengar cemas.
"Lima belas menit lagi bel!" seru Rena tertahan setelah menengok jam dinding. Maka dengan satu sentakan cepat, Rena bangkit berdiri dan membenarkan letak strap tasnya. "Rena berangkat ya, ma."
"Kamu kan belum sarapan!" Ibunya berjengit kaget.
Rena hanya menggeleng. "Gak sempet, ma. Nanti aja di sekolah!"
"Tapi bekalnya udah, 'kan?"
Ibunya selalu mengabsen yang satu itu, sebab Rena memang cukup teledor dan apatis dengan jadwal makannya.
Perempuan itu mengangguk yakin, mengayunkan rambut hitam sepunggungnya yang tak dikuncir.
Dengan satu senyum lembut yang masih diwarnai dengan sirat khawatir, ibunya melambaikan tangan dan berpesan, "Hati-hati! Makannya jangan lupa!"
Punggung Rena menghilang dari balik pintu apartemen; segera menyusun langkah-langkah cepat untuk berangkat ke sekolahnya. Seperti biasa, menggunakan kendaraan umum.
***
"Lo bisa gak sih, Dim, sehari aja gak usah sok bossy!" Lengkingan suara Kalila menyambut Rena begitu ia sampai di pintu kelas.
Suasana pagi itu cukup heboh. Segerombolan anak yang menjabat sebagai pengurus kelas beserta beberapa murid lain berkumpul di belakang, membicarakan entah apa yang tidak terlalu diperhatikan Rena. Tetapi sesekali salah satu dari mereka bersuara cukup keras hingga menarik perhatiannya.
"Ada apaan sih?" teriak Erghi dari tempat duduknya; terlalu malas untuk berjalan mendekat.
Sang ketua kelas hanya melirik temannya itu sekilas dan kembali sibuk bicara dengan Sekar. Raut wajah keduanya tampak serius, sisanya tampak kesal dan masam.
"Lagi sok-sok rapat mereka, katanya jangan ganggu," jelas Gilang begitu Rena tiba di tempat duduknya. Perempuan itu menaruh tasnya dengan perlahan, sambil diam-diam melirik ke arah gerombolan tersebut.
"Emangnya ada apa?" tanya Rena karena sama sekali tak mendapat petunjuk. Ia selanjutnya sadar bahwa kursi di sebelahnya kosong; Raffa ikut bergabung bersama mereka.
Kenapa juga harus peduli? Rena mendengus, mencoba untuk bersikap apatis.
"Katanya ada perwakilan yang harus diganti," jawab Gilang sambil melirik ke belakang; tidak membalas tatapan Rena.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...