[31] Jika Hati Bersinggah

3.6K 302 20
                                    

Terkadang, hati bersinggah di banyak tempat. Ia datang sesaat, tanpa niat untuk menetap.

***

"Kalo lo jalan ke depan, nanti ada warteg yang tembok biru. Sambelnya mantep banget! Kalo mau makan di sana, bilang aja temennya Gilang. Nanti dikasih diskon." Dimas menyerocos selagi mereka menyusuri jalan. Lanjutnya, "Dulu Gilang pernah ngajarin mbaknya naik motor. Baik banget ya? Baik lah, Gilang. Nah, kalo lo belok ke kiri, jalan agak jauh nanti ada-"

"Bentar, bentar." Rena mengangkat tangannya sambil mengerutkan kening. Ia melirik Dimas, yang kini sedang berdiri di sampingnya sambil sesekali menunjukkan jalan. Lagaknya sudah seperti tour guide. "Sekilas info, baik dan modus itu beda tipis."

"Yah..." Dimas menggaruk dahinya. "Mau bikin kesepakatan sama gue gak, Ren? Khusus untuk hari ini, kita mikir yang positif-positif aja. Kayaknya dari tadi lo kebanyakan mikir negatif deh. Gak baik buat kesehatan batin."

Rena memicingkan matanya dengan curiga. Tetapi setelah menimbang-nimbang, perkataan Dimas ada benarnya juga. Perempuan itu memutuskan untuk mengangguk setuju. "Ok," putusnya. "Kayaknya gue emang lagi kebanyakan mikir negatif." Matanya kemudian beralih untuk menatap bangunan di sekitar. Mereka sudah memasuki kawasan yang asing bagi Rena, tetapi tidak bagi Dimas.

"Kalo mau ke rumah gue, lewat sana." Dimas menunjuk tikungan yang sedang mereka lewati. "Lurus terus, sampai mentok, terus belok kanan. Nah, rumah gue yang ada pohon mangganya. Pagar hitam."

Rena mengangguk-angguk lagi. "Ok, tapi gue gak yakin perlu informasi itu."

"Oh, perlu. Kali aja lo tersesat di deket-deket sini. Pintu rumah gue selalu terbuka untuk siapa aja. Terutama gebetan te-" Lidahnya tergigit tak sengaja. "Aw! Kampret."

"Terutama apa?"

Dimas menoleh dan menyengir. "Gak, abaikan," jawabnya cengengesan, lalu menambahkan gestur mengibaskan tangan. Dia kemudian berjalan beberapa langkah di depan Rena. "Lewat sini, Ren, katanya mau ke toko buku bekas?"

"Emangnya jam segini udah buka?" Jam di tangannya masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Dimas mengangguk ragu. "Kalo belom buka, ketok-ketok aja. Nanti juga pemiliknya keluar."

"Iya, abis itu kita diusir," gerutu Rena. Meski merasa tidak terlalu yakin, ia tetap mengikuti Dimas lantaran tak punya pilihan. Kemana lagi dia harus pergi? Pulang? Rena sedang tidak ingin berada di rumah. Ke kafe ibunya? Yang ada ia hanya akan menuai ocehan. Ke mall? Tidak ada yang buka sepagi ini.

"Lo liat pohon itu gak?" Dimas menunjuk pohon jambu yang tak jauh dari mereka. "Gilang suka nyolongin buahnya, hahaha. Tapi abis itu dia bagiin ke bocah-bocah sini, kalo sore 'kan banyak yang main. Petak umpetlah, apalah."

"Kok lo ngomongin Gilang terus sih?"

Dimas langsung menoleh ketika Rena bertanya begitu. Kakinya juga berhenti melangkah hingga posisi mereka kembali sejajar. "Hah?"

"Kok lo ngomongin Gilang terus?" ulang Rena. "Lo naksir dia ya? Love wins, Dim!"

"Yee, enak aja! Naksir pale lu! Dia 'kan temen gua. Daripada gua bahas temennya Pak Uus? Bingung nanti lo." Dimas berusaha bersikap biasa saja. Dalam hati bertanya-tanya apakah sandiwaranya terlalu kentara. Apakah niatnya terlalu terbaca. Atau apakah Rena yang terlalu pintar hingga bisa membaca pikirannya.

Perempuan itu kemudian hanya manggut-manggut lagi, membuat Dimas bingung apa saja yang Gilang bicarakan dengan Rena sebab perempuan itu begitu pasif. Tidak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah didekati Gilang. Rena ini, terlalu misterius. Sekeras apa usaha Gilang untuk mengetahui isi benaknya?

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang