[25 | Raffa] "Maaf," katanya

4K 376 29
                                    

"Maaf," katanya. Kepalanya menunduk dan bahunya gemetar. Tapi aku hanya mengalihkan pandangan seolah tidak mendengar. Bukan karena aku tidak peduli, melainkan karena aku terlalu peduli. Sejauh ini, aku membiarkannya bertanya-tanya. Sejauh ini, aku membiarkannya salah paham.

Tapi lagi-lagi, semesta tidak sejalan dengan rencana.

Lagi-lagi, aku harus bertekuk lutut di hadapan nasib.

Dan hingga kemarin, aku kira, aku masih bisa kabur. Aku kira, dengan begini, semuanya perlahan-lahan akan membaik.

Tidak.

Aku salah. Tidak ada yang membaik. Tidak ada yang baik-baik saja. Mungkin kata baik memang tidak ditakdirkan untukku. Tapi, Rena, aku selalu menyemogakan yang terbaik untukmu.

Sialnya, bagaimana bisa aku menyemogakan yang terbaik, jika aku justru memberikan yang terburuk?

"Maaf," katanya lagi. "Maaf." Kepalanya yang semula menunduk kemudian menengadah, dan kami terpaksa bertemu pandang. Aku menatap matanya; yang coklat dan sendu, mencerminkan betapa aku sudah menghancurkan dirinya. Betapa aku sudah menghancurkan segalanya. Aku.

Melawan rasa sesak, aku memaksa diriku bertanya, "Maaf untuk apa?"

"Untuk semuanya."

Semuanya.

Aku pernah bertanya-tanya, untuk apa kata maaf tercipta. Pada satu saat, kau melakukan kesalahan. Dan pada saat berikutnya, kau menyatakan penyesalan. Apa penyesalan bisa memperbaiki kesalahan? Apa jika kau menghancurkan hidup seseorang, kau bisa memperbaikinya hanya dengan kata maaf? Tidak.

Tapi akhirnya, pada penghujung hari, kata maaflah yang menyembuhkan lukamu. Dan pada saat ini, mungkin bukan kata maaf dari Rena yang kubutuhkan. Mungkin yang kubutuhkan adalah kata maaf dari diriku sendiri, untuk diriku sendiri, dan untuk dirinya.

"Lo gak salah apa-apa." Aku menatap apa saja kecuali sepasang matanya. "Gue—"

"Jelas itu salah gue," selanya.

Perempuan ini, ternyata masih keras kepala.

"Waktu itu, tangan lo cedera gara-gara gue, 'kan?"

Genggamanku pada album biru mengerat.

"Kenapa lo gak terus terang? Kenapa lo gak bilang kalau alasan lo mengundurkan diri dari kompetisi piano itu karena cedera?" Dia menggeleng tak habis pikir. "Lo bisa maki gue di depan muka, Raf. Bukan malah pergi gitu aja."

"Kalo gue udah maki lo depan muka, terus apa?" Aku mendengus. "Tangan gue bakal normal lagi?"

Lagipula, bukan itu masalah utamanya. Bukan itu yang aku khawatirkan.

Dia kembali menggeleng. Ia menjawab dengan lirih, "Seenggaknya, gue gak akan menghabiskan tiga tahun ini dengan membenci lo."

Bibirku membeku. Selama itu, waktu tetap berjalan, namun kami berdiam. Hening yang lama seakan menjadi jeda yang membuat kami semakin tercekik. Tercekik dengan pikiran masing-masing. Tercekik dengan perasaan yang tertahan di dada masing-masing. Berbagai kata dan rasa yang belum terungkap.

Aku memejamkan mata. Tapi hal itu justru membuat permasalah ini terlihat semakin jelas.

"Ada beberapa hal yang gak bisa lo lihat dengan mata," kataku. "Dan ada beberapa hal yang gak bisa lo terima dengan hati."

Dia menungguku melanjutkan.

Maka dengan berat, aku tersenyum sambil berkata, "Banyak hal yang harus dijelasin, Rena."

"Kalau gitu, jelasin, Raffa."

***

Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan; melihat ayah dengan perempuan lain, atau melihat ibu pergi. Sudah tiga tahun berlalu dan aku masih tidak menemukan jawabannya. Namun kurasa, yang paling menyakitkan adalah melihat duniaku runtuh. Ayah adalah bagian dari duniaku. Ibu adalah bagian dari duniaku. Dan Rena, perempuan itu, entah sejak kapan, juga merupakan bagian dari duniaku.

Atau mungkin, lebih tepatnya, pernah menjadi bagian dari duniaku.

Betapa penggunaan kata lampau begitu penting dalam konteks ini, sebab waktu terus berjalan dan sebagian dari diriku mungkin masih tertinggal di masa lalu. Jika aku terlahir sebagai seorang penemu, hal pertama yang akan kulakukan adalah membuat mesin waktu. Sayangnya, aku terlahir sebagai seorang pecundang.

Satu-satunya hal yang pandai kulakukan adalah berlari. Dalam konteks ini, tepatnya, berlari dari masalah. Seperti yang kulakukan tiga tahun lalu. Dan seperti yang akan kulakukan saat ini, tapi aku mencegah diriku untuk terus-menerus berlari. Karena sesunggunya, berlari dari masalah sama dengan berlari dalam roda putar. Aku hanya akan terus melakukannya, tanpa menemukan titik terang, hingga tenagaku terkuras habis.

Dan jika tenagaku terkuras habis, aku tidak akan mampu membangun kembali duniaku yang sempat runtuh.

Hiruk-pikuk kafe membuyarkan pikiranku ketika kami melangkah masuk. Rena berada di sampingku, dan aku berada di sampingnya. Hal ini bisa saja sempurna, jika kami tidak dipisah oleh jurang permasalahan.

Seorang pelayan mengarahkan kami untuk mengambil tempat di lantai dua, tepat di samping jendela besar. Jalan raya Jakarta menjadi saksi betapa kami kini bersimpuh untuk menghadapi kenyataan. Serta menjadi saksi betapa aku, setelah semua yang kulakukan, masih tenggelam dalam sepasang mata coklat Rena. Mata coklat yang sama seperti milik ibunya. Mata coklat yang paling kubenci tiga tahun lalu.

"Lo mau pesen apa, Raf?" Dia membalas tatapanku setelah beberapa menit memperhatikan menu.

Aku ingin memesan masa depan dengannya.







Tapi aku tahu aku tidak bisa.

***

Masa depan. Masa dimana semua permasalahan ini sudah selesai.

Dan aku harus menyelesaikannya sekarang.

Siap atau tidak. Mampu atau tidak.

***

[ RUR ]

10/6/2017

YAY

Chapter selanjutnya masih dalam sudut pandang Raffa. Respon kalian penyemangatku, so thaaanks a lot.

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang