Karena kita mengartikan kata 'baik-baik saja' dengan makna yang berbeda.
***
Suara musik indie yang mengalun ke sudut-sudut kafe agak teredam setelah Rena masuk ke ruangan staff khusus perempuan. Ia langsung menuju lemari besar yang terletak di dekat pintu; menaruh tasnya di sana, mengganti seragam sekolahnya dengan seragam karyawan kafe serta mengikat tali apron ke belakang punggung.
Sekilas, Rena mengecek penampilannya di cermin. Memastikan semua kancing terpasang benar dan tidak ada bagian kerah yang terlipat. Matanya menatap balik bayangan di cermin; tampak kaku, tidak ada senyum terpampang. Rena merasa sedang menatap orang lain, bukan dirinya sendiri.
"Ren?" Derit pintu terbuka. Wajah ibunya menyembul dari ambang pintu, senyum terulas cerah. "Ayo, pengunjungnya udah mulai ramai."
Rena buru-buru menarik kedua sudut bibirnya untuk membalas senyum Sang Ibu. "Iya, sebentar lagi."
"Ok, mama tunggu di luar ya."
Rena kembali menatap cermin. Sebagai anak dari seorang pemilik kafe dan toko kue, ia memang sering mendapat tugas part time. Terutama ketika ada salah satu karyawan yang berhalangan hadir. Jadi seharusnya, tugas ini tidak seberat yang dibayangkan. Toh ini juga bukan kali pertamanya. Tetapi karena mood-nya yang tidak terlalu baik hari ini, Rena jadi merasa terbebani. Apalagi ketika ia harus bertemu dengan banyak orang, berpura-pura ceria dan ramah, demi menjaga reputasi.
Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, Rena menarik sudut bibirnya untuk tersenyum.
"Ok, semangat," bisiknya kepada bayangannya di cermin. Setelah memantapkan hati, Rena melangkahkan kakinya keluar.
Suara musik indie kembali terdengar jelas, bersirobok dengan keramaian pengunjung yang meningkat pada jam pulang kerja. Beberapa meja penuh diisi dengan wanita-wanita kantoran –masih mengenakan kemeja dan rok selutut, dan beberapa lagi diisi dengan anak muda yang sudah mengganti seragam dengan pakaian kasual.
"Rena ikut terjun ke lapangan hari ini?" tanya seorang perempuan yang lebih tua lima tahun darinya. Merupakan karyawan tetap yang bekerja sebagai waitress dan mengenal anak atasannya dengan cukup baik.
Rena menyengir. "He'eh, Kak Andin."
"Ok, kita amati dulu medan perang kita..." Andin menatap ramainya pengunjung di sore itu. Lalu menarik napas panjang. "Siap, Rena?"
"Siap!"
"Ok, serbu!"
Rena segera mengambil buku menu dan nampan dari dekat kasir dan mulai melayani konsumen nomor satunya, yang duduk persis di sudut kafe. Tangannya dengan gesit mencatat pesanan pada selembar kertas.
Mereka harus bergerak cepat agar tidak ada konsumen yang mengeluh. Mata mereka juga harus jeli mengawasi gerak-gerik, mengawasi jika ada tindakan mencurigakan.
Dan segalanya berjalan lancar, sampai tiba-tiba sebuah sosok yang Rena kenali muncul dari balik pintu kafe. Sosok terakhir yang ingin ditemuinya selama tiga tahun terakhir.
***
"Rena 'kan gak suka sama si Raffa-Raffa itu."
Suara dari layar laptopnya membuat Laras mendengus. Matanya menatap Risa yang terhubung melalui Skype, berkomunikasi dengan video call "Iya, soal itu gue juga tau," katanya sembari membuka bungkus keripiknya. "Yang jadi permasalah itu, kenapa? Apa alasannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...