Katanya, banyak hal di dunia ini yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi. Seperti hitam dan putih, air dan api, atas dan bawah.
Lantas, bagaimana dengan aku dan kamu?
***
"Nyokap gue pulang bentar lagi," kata Rena sambil masih menatap ponselnya, baru saja membuka pesan dari sang ibu. Ia kemudian melirik Gilang yang sedang melahap pringles di sampingnya sambil mengarahkan pandangan ke depan; menonton salah satu serial televisi yang disukainya.
CSI: Crime Scene Investigation.
"Lang," panggil Rena sekali lagi karena laki-laki itu tidak merespon.
"Iya," jawabnya setelah semenit fokus menonton. "Denger kok."
"Terus?" Alis perempuan itu terangkat. Ia sudah mengganti gaun biru tuanya dengan kaos putih polos dan celana selutut. "Nanti Risa sama Laras juga mau ke sini."
Mendengar dua nama itu disebut, Gilang baru menoleh. "Ngapain?"
"Ngapain?" ulang si perempuan heran. Alisnya makin terangkat. "Ya, main."
"Main?" Alis Gilang ikut terangkat.
"Apaan sih, Lang? Nanya mulu kayak Dora." Siaran yang sedang mereka tonton sudah berganti dengan layar hitam, tulisan-tulisan muncul dan bergerak ke atas. Credits. "Tuh, film lo udah abis."
Mereka memang sudah selesai makan sedari tadi, sekitar dua jam lalu. Setelah itu mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing; Gilang menonton dan Rena mengutak-atik ponselnya lantaran tidak suka film kriminal.
"Yaudah," kata Gilang kemudian. Ia tetap tidak beranjak, membuat Rena mendengus.
"Lo gak pulang?" tanyanya dengan nada heran. Detik setelahnya Gilang membalas tatapan Rena dengan tidak kalah heran.
"Sejak kapan lo nyuruh gue pulang?" Laki-laki itu balas bertanya sebelum bangkit berdiri dan mengambil minum di dapur. Ekor mata Rena mengikutinya.
"Ya gak gitu. 'Kan biasanya kalo ada nyokap gue, lo pulang," sahut perempuan itu setengah berteriak agar terdengar. "Lagian 'kan nanti Risa sama Laras bakal dateng, jadinya–"
"Bilang aja kalo mau gue pulang."
"Hah? Gak gitu–"
"Lain kali ya bilang aja langsung."
"Lang–"
"Yaudah gue pulang."
"Lang!"
Laki-laki itu menaruh gelasnya ke atas wadah cucian. Segera beranjak untuk mengambil jaketnya yang sempat dipakai Rena lalu merogoh saku untuk menemukan kunci mobil.
"Gak gitu, Lang. Gue–"
"Gue pulang."
Emosi perempuan itu terpancing. Ia segera berdiri dan menahan pundak laki-laki itu yang hendak keluar dari apartemennya. Matanya memicing, beradu dengan milik sang laki-laki yang membalasnya dengan datar.
"Lo kok jadi sensitif gini," ujar Rena sebelum menghela napas panjang. "Gue cuma– ya, cuma–" Kalimatnya menggantung.
"See? Lo cuma mau nyuruh gue pulang." Gilang melengkapi. "Yaudah, gue turutin."
"Lang!" Perempuan itu berseru dan kembali menahan lengan Gilang. "Gini– ok, gue emang mau lo pulang. Tapi–"
"Tapi?"
"Tapi–"
"Gue tau lo lagi ada masalah," sela Gilang, tidak peduli dengan perempuan itu yang tidak suka ucapannya dipotong. "Lo cuma mau cerita sama mereka doang, 'kan? Ok, gue gak masalah, Ren. Silahkan. Gue gak marah kok. Lo nyuruh gue cerita kalo ada masalah tapi lo sendiri mendem. Gue gak mar–"
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...