[28] Kembali

3.7K 330 27
                                    

Dhysta kira, dia sudah sanggup merelakan Raffa. Dhysta kira, dia sudah melepaskan rasa sesaknya. Dhysta kira, semua perkiraannya benar. Tetapi pagi ini, ketika dia sedang melintasi koridor, pandangannya langsung tertuju pada laki-laki itu. Dan hancurlah pertahanan Dhysta.

Begitu banyak pertanyaan di kepalanya, seiring dengan rasa cemas yang hadir tanpa diminta. Kenapa gue masih peduli? Ia tersenyum getir. Karena gue masih sayang.

Kantong mata Raffa menghitam, pandangannya sayu, dan tubuhnya tampak lebih kurus. Mungkin bagi orang lain, Raffa masih tampak sama; hanya terlihat sedikit lelah. Tapi Dhysta tahu, dari cara Raffa menatap, ada sesuatu yang salah.

Mereka hanya bertatapan selama beberapa detik, dan Raffa berlagak seolah-olah tidak mengenal.

Tanpa pikir panjang, ia melangkah mendekat. "Raff—"

BRUK!

Bahunya terhantam dari belakang, tubuhnya limbung sejenak sebelum menemukan keseimbangan dengan bertopang pada pilar koridor. Seseorang yang baru saja menabraknya berteriak, "Sori!" dan lanjut berlari.

Ketika ia kembali menatap ke arah Raffa, laki-laki itu sedang tersenyum. Bukan kepadanya. Melainkan pada Rena.

Pertahanannya hancur dua kali.

***

Raffa sudah memikirkan hal ini semalaman: Ia tidak bisa kembali seperti dulu dengan Rena, tetapi ia bisa memulai sesuatu yang baru dengan perempuan itu. Sesuatu yang seharusnya bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu. Tetapi ada satu hal yang mengganjal.

Walau Rena tidak memuntut penjelasan apa-apa lagi perihal kepergiannya dulu, Raffa tetap merasa bahwa pada akhirnya ia tetap harus menjelaskan. Untuk memulai sesuatu yang baru, yang lama harus dituntaskan terlebih dahulu. Mungkin bukan sekarang. Mungkin nanti. Mungkin bukan besok. Mungkin lusa. Raffa tidak tahu, dan belum mau tahu. Maka ketika ia menyapa Rena pagi ini, ia berusaha untuk bersikap biasa. Biasa seakan mereka tidak pernah punya masalah. Seolah tidak ada hal yang berubah. Dan kemudian ia melihat Dhysta, yang menatapnya dengan pandangan itu. Pandangan yang menyimpan berbagai kata tak terucap.

Raffa tidak mau melihatnya ke arahnya. Ia lantas memfokuskan diri pada Rena saja, meski pikirannya kembali meracau.

"Ren, nanti pulang sekolah latihan ya." Ia berusaha mencari topik pembicaraan.

Rena, sambil menata buku loker di tangannya, menganggukkan kepala. "Ok, di ruang musik 'kan?"

"Mm-hm." Raffa tanpa sadar menoleh ke arah Dhysta lagi, tetapi perempuan itu sudah meninggalkan tempatnya tadi berdiri dan berbaur dengan murid lain di koridor. Berusaha tidak peduli, ia memaksakan diri untuk kembali terfokus pada Rena.

"Oh, iya, Ren. Ini dompet lo yang ketinggalan."

Rena menghentikan aktifitasnya semula dan menerima uluran dompetnya dari Raffa. "Thanks, Raf. Sori ngerepotin." Ia menyengir kecil.

Raffa mendengus pelan. "Makanya, lain kali jangan ceroboh. Dari dulu kok gak berubah sih?" Tangannya terangkat untuk mencubit pipi perempuan itu—hal yang paling tidak Rena suka sejak dulu, tetapi tetap Raffa lakukan berulang kali.

"Apa sih, Raf!"

Laki-laki itu hanya tertawa ketika lengan atasnya dipukul. Di saat yang bersamaan, matanya menangkap Risa dan Laras yang sedang berjalan mendekat dari arah berlawanan.

"Gue ke kelas duluan deh," putus Raffa. Tanpa menunggu jawaban dari Rena, ia sudah berbalik dan melambaikan tangan.

"Awas lo nanti!"

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang