[19] Bersama Bintang

4.4K 370 9
                                    

I'm a fucking mess sometimes
but still I could always be whatever you wanted
but not what you needed

— Eden

***

Asap rokok berlomba keluar sebelum membubung meninggalkan balkon. Lenyap tertiup angin. Menyisakan visi kurik bintang sebagai latar belakang, disesaki awan kelabu. Cahaya rembulan tidak terlihat malam itu, tetapi setidaknya Raffa tahu hujan tidak akan turun hingga beberapa jam ke depan. Ia masih menikmati langit mendung yang berpadu dengan cahaya pencakar langit, sambil menyesap kopi hitamnya.

Ray, laki-laki yang merokok di samping Raffa, kemudian memecah hening sambil mematikan api rokoknya. "So, this is your hometown. How's it feel? Like, going back to the old days?"

Pandangan Raffa beralih dari cakrawala menuju Ray. Ray adalah temannya di Singapura, yang sekarang sedang berlibur di Jakarta. Raffa sudah berjanji untuk mengunjunginya di hotel tempat Ray menginap. Usianya tiga tahun lebih tua, anak dari salah satu pengusaha yang bekerja sama dengan perusahaan ayah Raffa. Dan mungkin, satu-satunya teman laki-laki yang mengenal Raffa hingga rongga terdalam; ia menyaksikan bagaimana Raffa memulai kembali hidupnya di Singapura.

"There is no going back. I just know how to keep moving on." Raffa tersenyum tipis.

"Keep moving on, you said." Ray terkekeh pelan. Ia menyilangkan tangannya dan bertumpu pada pagar balkon. Matanya memicing. "How can you know that you are really moving on, or just running in a spinning wheel?"

Bibir Raffa terkatup rapat. Genggamannya pada cangkir berisi kopi hitam yang tinggal separuh itu mengerat.

Ray kemudian berkata lagi, kali ini sambil beranjak dari balkon. "Think about it, Raf. Are you really doing a start over to find a different end with her? Because you do nothing to change a thing."

Selama beberapa saat, Raffa membiarkan kata-kata itu meresap ke pikirannya. Dan ketika ia hendak menyahut, Ray sudah menghilang dari balik pintu balkon. Mungkin hendak menyantap makan malam yang dipesannya beberapa menit lalu ke petugas hotel. Raffa juga mulai merasa lapar, tapi tanda tanya yang menggantung sekarang membuat ia tinggal sedikit lebih lama di balkon. Memikirkan tindakannya selama ini.

You do nothing to change a thing.

Ia kembali ke Jakarta untuk memulai sesuatu yang baru, namun tanpa sadar mengulang kembali kejadian masa lalu. Ia justru mencari kembali apa yang telah ditinggalkannya dulu. Berharap bisa menggenggam sesuatu yang hanya nyaris bisa digapainya. Berharap bisa memiliki apa yang bukan miliknya. Angan-angan. Dan semuanya berkaitan dengan seorang gadis.

Raffa mendengus kasar.

Ia meninggalkan balkon untuk membuang sisa kopinya dan memutuskan untuk ikut makan malam dengan Ray. Berkompromi dengan pikiran dan batinnya ternyata sulit.

Sulit jika kau mengetahui suatu kebenaran, tapi kau tidak bisa mengakuinya.

***

Sorak-sorai dari lantai atas kafe terdengar hingga bawah. Rena melirik sedikit dari ujung tangga, mengintip kemeriahan pesta yang diadakan salah satu pelanggan ibunya. Perayaan ulang tahun ketujuh belas. Senyum merekah penuh, gelas-gelas terisi dengan tawa lepas, dan kue dipotong dengan kebahagiaan yang tumpah-ruah.

Sedangkan di dapur, para pelayan sibuk menjalankan tugas masing-masing, tak ada waktu untuk ikut merasakan atmosfir gembira dari lantai atas. Hanya ada denting gelas tanpa nada dan aroma kue tanpa senyum. Alis-alis bertaut penuh konsentrasi, rahang-rahang terkatup tegas.

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang