[41A] Segala yang Pernah

1.2K 116 7
                                    

Tentang segala yang pernah, yang dulu sempat singgah, kini hanya sebatas kisah.

***

Ketika mereka berjalan pulang, dengan tangan saling menggenggam dan senyum saling terkulum, Rena memecah hening mereka yang tenang dengan berkata, "Raf."

Raffa menoleh. "Hm?"

"Raffa."

"Ya?"

Rena tertawa kecil.

Raffa mengernyitkan dahinya, "Apa?"

Langkah mereka berhenti dan kini mereka saling menatap. Mereka hanya beberapa langkah menuju taman, beberapa blok menuju rumah Rena, dan Raffa tidak pernah merasa sedekat ini dengan rumah. "Rena, apa?"

Rena menggeleng, kakinya lanjut melangkah, namun Raffa menahannya.

"Raffa, ayo, nanti kemaleman." Rena menarik tangan Raffa agar ia lanjut berjalan.

Raffa menghela napas panjang. "Jelasin dulu, kenapa ketawa? Apa yang lucu?"

Lagi, mereka saling menatap. Lampu taman yang kini hanya berjarak beberapa meter menerangi wajah Rena, membuat Raffa bisa melihat bagaimana rambutnya bergerak searah angin, bagaimana matanya bersinar di bawah terang rembulan, bagaimana bibirnya tertarik membentuk senyum.

"Ren--"

"Gue cuma lagi belajar," jawab Rena.

"Belajar?"

Rena mengangguk ringan. "Iya, belajar nyebut nama lo."

Satu detik, dua detik. Kerut di kening Raffa menghilang, diganti dengan tawa. "Apa sih, Ren? Random banget." Tangannya tanpa sadar terangkat untuk mengacak rambut Rena.

Rena mengerjap kaget.

Awkward.

"Eh, sorry." Raffa menarik tangannya dengan canggung.

Rena menunduk dan menatap jari mereka yang bertaut. Dulu, ini adalah hal biasa. Raffa biasa menggenggamnya kapan saja, memainkan rambutnya kapan saja. Tetapi sekarang, semua ini terasa asing. Rena merasa seperti kembali mempelajari Raffa, kembali mempelajari mereka.

Seperti dulu, ketika kepergian Raffa mengajarkan Rena untuk menyebut namanya tanpa tersenyum. Kini, kepulangan Raffa mengajarkannya untuk kembali tersenyum.

"Ada tempat yang mau gue kunjungin."

Raffa tidak tampak kaget dengan permintaan tiba-tibanya.

***

Cahaya yang menerangi langkah mereka berangsur remang. Persimpangan demi persimpangan, rumah demi rumah, hingga mereka tiba di suatu pekarangan. Senyum Rena melebar, Raffa membatasnya dengan tatapan tidak percaya.

"Serius, Ren?"

Rena tersenyum antusias. "Oh, lo masih inget?"

Raffa menggeleng tak habis pikir. "Inget lah, mana mungkin gue lupa?"

Ada sesuatu dari cara Raffa mengucapkannya yang membuat Rena berhenti tersenyum, begitu juga dengan degup di dadanya, hanya selama sepersekian detik, sebelum kembali dengan dua kali lipat. Senyum dua kali lipat lebih lebar, debar jantung dua kali lipat lebih cepat.

Ia berusaha mengabaikannya dengan deham pelan.

Raffa melangkah masuk lebih dulu, disusul Rena. Keduanya menatap sekeliling, warung yang dulu pernah menjadi tempat mereka berteduh, dengan uang jajan tinggal sepersen yang membuat mereka memesan satu cangkir teh hangat untuk berdua.

Andai Raffa tidak kembali, mungkin warung tersebut hanya akan menjadi kenangan pahit, sebab ini adalah tempat terakhir yang mereka kunjungi bersama sebelum ia pergi. Tetapi kini, Rena justru ingin mengunjunginya—bagai mengujungi kenangan, meski tak bisa sepenuhnya kembali, setidaknya cukup untuk mengingatkan apa yang sempat mereka punya sebelum segalanya hilang tiba-tiba. Hari ini adalah hari dimana segala yang hilang itu kembali.

Rena berjalan menuju kursi tempat mereka duduk dulu. Warung tersebut tidak banyak berubah, meski dindingnya tampak sudah dicat ulang. Kursi plastik yang berada di pojok ruangan masih sama, piring yang menyediakan gorengan masih sama, begitu juga dengan kaleng kerupuk dan kayu yang menggantung serenteng minuman saset.

"Teh?" tanya Raffa, yang mengambil inisiatif untuk memesan.

Rena mengangguk. Raffa membalasnya dengan senyum penuh arti.

"Bu, teh hangat dua," pesan Raffa pada pemilik warung yang sedang mengepang rambut anaknya yang sepanjang punggung.

"Buk, sakit, ih! Jangan ditarik-tarik," sang anak protes.

"Lho, siapa yang tarik nduk? Kamu sih gerak-gerak mulu!" Ibunya menyahut, sebelum menoleh ke arah Raffa dan mengangguk. "Bentar mas'e, ini nanggung dikit lagi."

Raffa tertawa kecil. Ia masih ingat dulu, anak tersebut hanya setinggi pinggangnya, sibuk bermain dengan tempias hujan ketika mereka berteduh.

"Iya, bu, gak apa-apa."

Hujan turun malam itu, hanya sedikit lebih deras dari gerimis, seakan mengucapkan 'selamat datang kembali'.

***

11:59 PM

Hujan, teh, dan Raffa. Tiga hal tersebut menemaninya hari ini.

Satu genggaman erat di tangan dengan bisikan, selamat datang kembali.

Satu senyuman di wajah dengan jawaban, terima kasih sudah pulang.

Jika fana adalah satu kata yang bisa mendeskriksipkan segalanya, maka begitu juga dengan kepergian.

Apa yang pergi, pada akhirnya akan kembali. Jika hal tersebut memang untukmu, maka ia akan menemukan jalan pulang.

***

[ RUR ]

18/02/19

Aku.. terharu. Beberapa chapter lagi RUR tamat. Chapter 41 akan dipisah jadi tiga bagian

I recommend you to listen to the song I attached on media! And I hope you have a nice day ;)

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang