Menit demi menit melenggang begitu saja dan Gilang tidak mau repot-repot mengejar. Sekarang sudah pukul tujuh kurang lima, ia seharusnya sudah dalam perjalanan menuju kafe tempatnya mengisi live music bersama Dimas. Beberapa pesan singkat dan berbelas miscall sudah memenuhi notifikasi ponselnya, tetapi Gilang senantiasa bergeming. Hening. Dan mungkin itu yang paling ia butuhkan saat ini.
Rena sudah masuk ke dalam apartemennya sejak satu jam lalu, Gilang menatap jendelanya yang sekarang terang oleh lampu. Hal tersebut mengingatkannya pada malam ketika ia mengantar Rena pulang.
Saat itu Rena membuka-tutup mulutnya beberapa kali, ragu, tetapi pada akhirnya berkata, "Lang, tentang surat yang lo kasih...."
Gilang langsung berdeham dan menyela, "Itu punya lo."
Rena mengerutkan kening. "Punya gue, maksudnya?"
"Iya, gue nulis itu buat lo. Jadi itu punya lo sekarang."
Mereka saling menatap selama beberapa detik, sebelum langsung menghindar dan sama-sama menunduk. Rena berbisik, "Thanks, I guess...?"
Gilang berusaha tertawa untuk mencairkan suasana, walau justru malah terdengar sumbang. "Gak perlu makasih-makasih segala. Itu kan bayaran utang baso gue."
Rena mendengus, namun akhirnya ikut tertawa. "Sialan."
Mereka terdiam lagi.
Gilang ingin menyuruhnya masuk, tetapi entah kenapa, saat itu ia ingin mengambil semua detik yang tersisa untuk memandang Rena. Entah kapan ia punya kesempatan seperti ini lagi.
Rena akhirnya mengangkat wajah dan Gilang bisa melihat senyumnya yang ragu-ragu. "Mampir dulu, Lang?"
"Gak dulu, gue ada janji."
"Oh, oke." Rena menghindari matanya. "See you, then."
Gilang mengangguk dan berjalan menuju mobilnya sambil bergumam, "Yeah, see you."
Tepat ketika ia hendak menutup pintu mobil dan Rena hendak membuka pintu apartemennya, Gilang berseru, "Ren!"
Gadis itu menoleh.
Dan mungkin karena cara Rena menatapnya, atau cara Rena berusaha tersenyum meski pahit, Gilang memutuskan untuk berkata, "It's true though."
Rena mengangkat alisnya.
"Everything I wrote there. It's true."
Gilang tersenyum tipis sebelum menutup pintu mobilnya tanpa menunggu Rena menjawab, karena memang apa yang ia katakan bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
Ia menyalakan mesin mobil. Menengok ke belakang sebelum berbelok di pertigaan, melihat jendela kamar Rena yang kini menyala dan membayangkan gadis itu kini mungkin sedang merebahkan tubuh di atas kasur sambil menatap langit-langit kamarnya.
Setidaknya ia pernah berusaha.
Satu misscall lagi dari Dimas, Gilang memutuskan untuk berhenti membuatnya menunggu.
Ia menekan tombol jawab. "Halo?"
"Bangsat! Lo dimana? Ini udah mau mulai!"
***
Rena sadar beberapa pertanyaan memang sebaiknya tidak terjawab, dan beberapa pernyataan sebaiknya tidak terungkap. Karena terkadang, kenyataan memang sepahit itu. Dan untuk melindungi hati, kita memilih untuk tidak tahu. Tapi, bukankah itu yang dilakukan oleh pecundang?
Kaki tidak diciptakan untuk lari dari kenyataan, begitu juga hati tidak diciptakan untuk mengabaikan perasaan. Seseorang bilang, kalau sakit, nikmati saja. Waktu selalu jadi obat paling manjur.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...