There's so much history in my head
The people I've left
The ones that I've kept– Troye Sivan
***
Jika kau bertanya apakah ini cerita milikku atau miliknya, aku lebih senang mejawab dengan: ini cerita milik kita. Kita yang nyaris bisa bersama.
***
Kesepakatan deadline 'secepatnya' oleh Raffa ternyata tidak main-main.
Tidak tanggung-tanggung, Rena langsung ditagih puisi keesokan harinya. Tentu saja, Rena yang tidak memiliki bakat di bidang tulis-menulis, hanya menjawabnya dengan suara pelan, "Belum gue kerjain sama sekali..."
Raffa tidak tampak marah, tidak juga tampak senang mendengar hal tersebut. Ia hanya menatap Rena tajam sambil berujar dengan nada rendah, "Mau ditunda sampai kapan?"
Sepasang bola mata hitam milik Raffa berhasil membuatnya terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum mengumpulkan suaranya yang sempat hilang untuk menjawab, "B-Besok, gue usahain udah jadi."
Beruntunglah ia, Sekar mau membantunya di hari Sabtu.
Maka di sinilah Rena sekarang, sedang merapikan ruang tamunya yang sudah sekitar seminggu tak sempat dibersihkan. Ibunya sibuk mengurus kafe, dan Rena sibuk dengan urusan sekolah. Tanpa pembantu rumah tangga, lantainya jadi cukup berdebu dan lengket, begitu juga dengan bantal-bantal di sofa yang berantakan.
Tetapi Gilang yang sudah sedari jam delapan tiba di rumah Rena malah dengan santainya berselonjor sambil menonton televisi. Tubuhnya dibalut kaos abu-abu dan celana pendek cokelat. Mengemil kerupuk yang dibelinya di warteg, sisa sarapan.
"Gilang! Lo ngapain sih dateng pagi-pagi, bukannya bantu malah bikin tambah berantakan!" Rena melempar satu bantal sofa ke muka laki-laki itu. Di tangannya terdapat pel yang kainnya kurang diperas, membuat lantai di sekitar kakinya becek.
"Tadi gue bilang mau main, bukan mau jadi babu," sahut laki-laki itu santai. Remah-remah kerupuk berjatuhan di sekelilingnya. Membuat Rena semakin naik pitam.
Sebelum sempat perempuan itu mengoceh panjang lebar, ponselnya yang digeletakkan di meja berbunyi. Menyelamatkan Gilang dari amukan Rena.
Mama is calling...
Gilang mengoper ponsel selebar lima inchi itu pada Rena dan Rena mengoper pelnya pada Gilang. Ia mengisyaratkan laki-laki itu untuk melanjutkan pekerjaan mengepelnya selagi ia mengangkat telepon. Kendati demikian, Gilang melasanakannya dengan ogah-ogahan.
"Halo, Ma?" Tangan Rena mengambil remote, mengecilkan suara televisi yang ditonton Gilang. "Kalo hari ini Rena gak bisa bantu di kafe, Ma. Maaf baru kasih tau. Temen aku mau dateng... iya, ada tugas... Apa?"
Perempuan itu tiba-tiba melirik Gilang. Menggaruk-garuk tengkuk. Membuat yang ditatap langsung bertanya 'Apa?' tanpa suara.
"Lagi berdua doang sama Gilang... –gak kok, Ma! Nanti ada temen Rena juga, perempuan!"
Sedetik kemudian Gilang paham arah pembicaraan Rena dengan ibunya di telepon. Ia sengaja berseru, "Tenang, Tante! Rena aman kok sama saya!"
Rena tiba-tiba merasakan keinginan yang kuat untuk menyodok gagang pel ke mulut Gilang, tetapi benda tersebut sedang tidak berada di tangannya. Jadi Rena hanya menyikut rusuk Gilang dan berjalan menjauh dari laki-laki itu, agar mendapat sedikit ketenangan.
"Rena bantu besok aja gimana, Ma? Aku tuntasin semua tugas aku hari ini, biar besok bisa full di kafe... Mm-hm. Oke, Ma... Soal makan gampang, deh. Nanti beli aja dari warung sebelah atau order... Iya, iya. Take care."
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...