[26 | Raffa] "Maaf," kataku

3.8K 346 11
                                    

Beberapa rahasia diciptakan untuk diungkap, dan beberapa rahasia diciptakan untuk terus disembunyikan. Sedangkan yang terbentang di antara aku dan kamu, adalah rahasia yang tidak seharusnya tercipta.

Lihat, betapa banyaknya hal yang tidak seharusnya terjadi di antara kita, Rena.

Kita mungkin tidak seharusnya dipertemukan. Kita mungkin tidak seharusnya saling menatap di hari itu, ketika kita bertemu di taman. Kita mungkin tidak seharusnya bertukar nama dan bertukar senyum. Kita mungkin tidak seharusnya saling merasa nyaman. Ralat—kita mungkin tidak seharusnya pernah saling merasa nyaman.

Atau mungkin juga, prinsip 'seharusnya' kini sudah menjadi sesuatu yang tidak kita kenali.

Kita.

Lucu, sebab aku tidak tahu hingga kapan aku masih bisa menggunakan kata itu.

"Jadi, lo mau ngomong apa?" tanya Rena setelah lama kami saling terdiam, matanya memberiku satu tatapan. Satu tatapan yang menyadarkanku bahwa di sinilah kami berada; di hadapan masa lalu.

Dia beralih untuk mengaduk minuman pesanannya; secangkir coklat panas dalam cangkir kelabu. Uap menyambut ujung-ujung rambutnya yang terurai di samping wajah, meski dulu ia lebih suka rambutnya terikat rapi.

"Raf?" panggilnya sekali lagi.

Aku melirik keluar jendela; menghindari matanya. "Lo udah nggak minum teh," kataku, lebih terdengar seperti pernyataan ketimbang pertanyaan.

Dia tersenyum tipis. Matanya kembali menatapku. Kini dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya; tatapan yang tidak bisa kubaca—dan tidak akan pernah bisa kubaca.

Seolah ada bagian dari dirinya yang selalu tersembunyi, dan tidak diciptakan untuk diungkap. Seolah dirinya adalah rembulan, yang bersinar pada satu sisi — sedangkan sisi lainnya, tidak akan pernah kuketahui.

"Gue udah berhenti minum teh," jawabnya. "Terlalu pahit."

"Pahit?" Kuberanikan untuk membalas tatapannya lurus-lurus. "Biasanya, lo selalu pakai gula tiga sendok."

Dia meralat, "Lebih tepatnya, dulu, gue selalu pakai gula tiga sendok." Tangannya berhenti mengaduk. "Tapi gula nggak selamanya bisa jadi pemanis."

Aku mengatup bibir rapat-rapat dan kembali menatap jendela.

"Mungkin mereka benar," kata Rena. "Waktu mampu mengubah seseorang."

Mungkin luka yang mengubah seseorang.

Mungkin juga keduanya, waktu dan luka, yang mengubah kami masing-masing.

"Can I ask you something?" tanyanya.

Aku menatapnya dan mengangguk.

Dia membalas tatapanku dan tersenyum tipis. "You told me to stay, so I did. But why you didn't?"

Pertanyaan itu menghantamku dengan satu repetisi: why I didn't? Why I didn't?

"Kalo saat itu lo nggak pergi tiba-tiba tanpa penjelasan, keadaan mungkin bisa berbeda."

"Berbeda?"

Tangannya menyentuh cangkir; tapi tidak menyesapnya seteguk pun. Pandangannya masih terarah padaku. "Gue nggak harus menghabiskan tiga tahun dengan membenci lo," katanya sungguh-sungguh.

"Lo berhak benci gue, Ren."

Alisnya terangkat. "Tapi—"

"Kecelakaan itu bukan salah lo," tekanku. "Lo gak salah apa-apa. Dan karena gue terlahir sebagai pengecut, lo berhak benci gue."

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang