Kadang pertanyaan itu hadir: apa kita bertemu untuk berpisah, atau bertemu untuk menjumpai pertemuan selanjutnya?
***
Gilang tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia mengabaikannya dan berusaha bersikap biasa. Walau sebenarnya, ia tidak bisa benar-benar 'biasa'. Ada Rena di sini, di hadapannya, sambil mengupas apel dengan pisau di tangan kanan. Rambutnya yang panjang dikuncir kuda, dengan beberapa anak rambut yang membingkai wajah. Di belakangnya, jendela terbuka lebar, dan sinar matahari jatuh tepat ke arahnya.
Gilang mengerang pelan.
"Kenapa, Lang?" tanya Rena tanpa mengalihkan perhatiannya dari apel.
Gilang hanya menggedikan bahu. Andai dia jago menggambar, ia akan langsung menyambar pensil dan buku sketsa. Dan andai dia jago memotret, dia akan langsung mengambil kamera lantas mengabadikan momen tersebut. Sayangnya, Gilang cuma bisa main gitar, nyanyi pun masih suka fals. Jadi dia hanya bisa memandang Rena lama-lama, berharap apa yang dipandangnya sekarang akan selalu terekam di otaknya.
Iya, gue gak boleh amnesia. Gue gak boleh lupa muka Rena yang lagi begini, putusnya detik itu. Lagipula, menurutnya, Rena yang seperti ini sudah merupakan karya. Karya Tuhan. Ia tidak perlu membuat karya berdasarkan sebuah karya, 'kan?
Gilang geleng-geleng. Pikirannya sudah pergi kemana-mana.
"Lo kenapa sih, Lang?"
"Enggak, enggak." Gilang merubah posisi duduknya. Tangannya bersedekap di depan dada. Dagunya terangkat sedikit untuk menunjuk apel yang ada di tangan Rena. "Itu kok lama banget sih? Ngupas apa ngukir?"
Rena mendengus. Diacungkannya pisau ke udara. "Gak usah protes."
"Jangan-jangan, lo sambil hitung ketebalan kulit apel dan ketajaman pisau, buat cari tekananan yang tepat untuk—"
"Ngomong sekali lagi, yang gue hitung nanti bukan ketebebalan kulit apel, tapi kulit lo."
"Hah? Buat apa, Ren?"
"Ya buat gue kupas, lah!" serunya kesal. Gilang melongo sebentar, baru paham.
"Lo mau ngulitin gue, Ren? Sadis!"
Tawa Dimas terdengar dari ujung ruangan. Ia jelas-jelas menyimak percakapan mereka meski matanya fokus memainkan MOBA game di ponsel. "Makanya jangan lupa kedip, Lang."
"Gak ada hubungannya, gob—"
Rena bangkit berdiri dari kursinya, lalu berjalan ke samping Gilang untuk memberikan apel yang sudah selesai dikupas. "Kurang-kurangin ngomong kasarnya, nanti yang diperban bukan jidat lo doang, tapi mulut lo juga."
"Tuh Lang, dengerin." Dimas lanjut tertawa. "Jidat lo diperban karena kebanyakan mikir yang goblok-goblok. Nanti, kalo lo sering ngomong goblok, mulut lo juga bakal diper—" Ocehannya langsung kandas ketika ponselnya berbunyi, "You has been slain!" Matanya melotot sambil berseru, "Goblok!"
Gilang mendengus puas. "Makan tuh goblok!"
"Apelnya yang dimakan, Lang!" tegur Rena. Dia menghela napas panjang, tangannya terangkat untuk memijit pelipisnya yang berdenyut. Berada di satu ruangan dengan Gilang dan Dimas memang kadang memusingkan. Tangannya merogoh saku selagi dan mengecek ponsel selagi Gilang dan Dimas memulai adu mulut ronde kedua.
Ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari Raffa.
Raffa: Kenapa gak masuk? Sakit?
Dan beberapa misscall dari Risa dan Laras. Rena menghela napas lagi. Bagaimana cara menjelaskan situasinya pada mereka?
'Sori, gue gak masuk, telat terus gue pergi jenguk Gilang' Tidak, tidak meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...