Hanya ada kita di sini. Berdua. Menatapi masa lalu.
***
Suasana di mobil itu hening sepanjang perjalanan pulang. Hanya terdengar sayup-sayup deru mesin dan keramaian kota yang menyelinap masuk dari celah-celah tak terlihat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Masing-masing sibuk dengan pikiran-pikiran yang berkelabatan.
Tetapi keheningan itu pecah ketika perempuan di sampingnya buka suara, sembari memutar-mutar ponselnya di tangan.
"Kamu sengaja?" tanyanya, tidak menuduh namun terdengar tegas.
Laki-laki yang memegang kemudi hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menatap jalan. Bibirnya terkatup rapat selama beberapa saat sebelum terbuka untuk menjawab, namun tindakannya urung. Kejadian di kafe tadi terputar lagi di otaknya.
"Raffa, kalo kamu diem, aku anggap jawabannya 'iya'."
Barulah saat itu ia ikut bersuara. "Enggak," jawabnya. Tidak menyertakan penjelasan.
"Enggak apa?"
"Aku enggak sengaja. Aku gak tau kalo–," laki-laki itu memberi jeda sejenak, mencari kata yang tepat. "–kalo dia bakal ada di sana, apapun urusannya."
Perempuan di sampingnya memicingkan mata; tampak ragu selama beberapa saat.
"Kalo kamu gak percaya, gak masalah," ujar laki-laki itu lagi. "Aku gak maksa. Itu hak kamu untuk curiga."
Akhirnya si perempuan pasrah dan menghela napas panjang. Tangannya sudah tidak memutar-mutar ponsel. Pandangannya turun untuk menatap kakinya yang dibalut pantofel pink, meski tidak benar-benar sedang memerhatikan alas kakinya tersebut.
"Jangan," Suara perempuan itu perlahan mengecil. "Jangan ketemu dia lagi."
"Aku sekelas sama dia, gak mungkin gak ketemu." Laki-laki itu menjawab dengan setengah menggumam, tetapi si perempuan dapat mendengarnya dengan jelas.
"Jangan ketemu dia di luar sekolah. Atau karena urusan pribadi."
Percakapan itu tandas. Atmosfir canggung yang menyelimuti mereka begitu terasa, dan Raffa memutuskan untuk tidak memberikan argumen apa-apa. Ia tidak mau mengambil risiko pertengkaran atau semacamnya. Dengan berbagai pikiran yang memenuhi kepala, Raffa merasa tidak sanggup jika harus ditambah beban lagi.
Mobilnya perlahan berhenti setelah berbelok di ujung jalan, di area perumahan yang sepi sebab waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tepat di depan sebuah pekarangan yang dibingkai pagar hitam, mengitari bangunan krem setinggi tiga tingkat. Nomor empat belas sebesar telapak tangan terlihat di gerbangnya.
Tahu apa yang harus dilakukan, perempuan di sampingnya segera menyampirkan kembali tali tasnya ke pundak dan mengantongi ponsel.
"Adhysta," panggil Raffa sebelum perempuan di sampingnya turun dari mobil. Tatapannya yang semula tajam perlahan melembut, seiring perempuan itu mengangkat kedua bibirnya untuk tersenyum tipis. Ia sempat ragu sejenak, sebelum melanjutkan kalimatnya dengan pelan, "Selamat malam."
***
"Bekal makan siang udah?"
"Udah."
"Uang saku?"
"Udah."
"Ok, hati-hati, sayang."
"Rena berangkat."
Belum pernah ia semalas ini untuk berangkat sekolah. Ia bahkan sudah tidak paham lagi apakah benar perasaan tersebut adalah malas, atau jengah, atau justru kobaran rasa benci yang memupuk semakin dalam sejak semalam, tanpa alasan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...