Rena menyusuri tangga dengan langkah satu-satu. Tangannya memegangi susuran, tanpa menatap arah kakinya melangkah. Di kepalanya berputar berbagai hal yang masih belum ia mengerti –atau mungkin tak akan ia bisa mengerti. Konsep datang-dan-pergi itu terlalu memusingkan.
"Gak akan ada hidup tanpa kedatangan dan kepergian."
Kalimat itu terngiang lagi sesampainya Rena pada lantai kelas. Teman-temannya sudah berhambur keluar sejak beberapa belas menit lalu, sehingga ia menemukan dirinya berada di tengah keheningan. Menatap hampa ke arah bangku yang sudah kosong.
"Rena!" Pintu di belakangnya tersentak terbuka. Detik berikutnya Gilang muncul dengan terengah; di pundaknya tersampir dua tas, miliknya dan milik sang gadis.
Rena mau tak mau tersenyum geli. "Abis ngapain, Lang?" tanyanya sambil berjalan ke arah laki-laki itu.
Gilang mendengus kesal. Tangannya turun untuk memegang lutut dan mengatur napasnya yang tidak teratur. "Gue abis nyari lo kemana-mana, sialan," umpatnya pelan. "Gue kira lo pulang sendiri! Kenapa gak tunggu aja di UKS sih? Tadi kan gue udah bilang–"
"Berisik ah," sela Rena tenang. Tangan perempuan itu terulur untuk mengambil tasnya dari pundak Gilang. "Thanks, by the way."
"Perut lo udah gak sakit?" Mata Gilang memicing cemas.
Rena menggelengkan kepalanya dengan yakin, lalu melewati laki-laki itu untuk keluar kelas. Suasana koridor juga tak kalah sepi dengan di dalam kelas; hanya ada mereka berdua di sana ditemani sayup-sayup bising dari klub basket yang sedang berlatih di lapangan bawah.
"Lo langsung pulang kan? Mau gue anter?" Gilang berjalan persis di samping perempuan itu.
"Gak usah, gue naik angkot aja."
Hela napas pendek keluar dari bibir Gilang. "Ok, ralat kalo gitu," katanya sebelum menarik tangan Rena. "Ini bukan tawaran, tapi perintah. Lo pulang bareng gue."
Mata Rena membulat. "Gilang! Apaan sih, gue–"
"Perintah gak boleh dilanggar," sela Gilang sambil menyeringai senang. "Rena anak penurut, kan?"
Tangan Rena masih berusaha memberontak ketika Gilang menambahkan kalimatnya, "Nanti pulang beli samyang deh, gimana?"
Barulah Rena berhenti mencoba melepaskan diri dan menggantinya dengan seringai lebar– tapi langsung berganti dengan muka masam. "Perut gue kan masih gak mendukung, Lang!"
"Yaaah, kasian." Gilang terkekeh sambil tetap menahan tangan Rena agar tidak kemana-mana. "Traktir bakso bola tenis deh?"
Kerutan di kening Rena memudar pelan-pelan. "Abis itu main di taman, ya?"
"Ok, deal."
Senyum lebarnya terbit lagi.
Ketika Rena membutuhkan udara segar untuk mengusir beban pikiran, Gilang hanya butuh beberapa waktu untuk dihabiskan bersama perempuan itu.
***
Dua jam sebelum matahari terbenam. Langit cerah menjadi saksi bisu atas percik keceriaan yang bersinar di tengah taman itu; tawa riang anak-anak, kaki-kaki yang berlari semangat, dan wajah-wajah antusias. Angin bertiup cukup kencang sehingga layang-layang memenuhi langit, tertarik ke sana ke mari diiringi jerit girang dari bocah-bocah yang mengulur benang.
"Gilang ikut main dong," ceplos Rena sambil menengadah ke atas, melihat layang warna-warni yang mewarnai langit sore. Punggungnya bersandar pada pohon yang menaunginya selagi duduk di atas rerumputan hijau.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Genç KurguAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...