Note: Paragraf yang di-italic adalah kilas balik/flashback.
Raffa sedang berbaring pada kasurnya ketika pintu kamar diketuk, disusul dengan kemunculan seorang perempuan yang –jika boleh jujur– ingin sekali ia hindari akhir-akhir ini.
Laki-laki itu lantas bangkit duduk, menaruh siku untuk bertumpu pada lututnya yang dibalut celana training abu-abu. Melihat perempuan itu melangkah masuk dengan ragu-ragu entah kenapa membuat Raffa agak jengkel.
"Ada apa sih?" tanya Raffa tanpa basa-basi.
Perempuan itu berdeham canggung. "Emangnya harus ada apa-apa dulu ya, baru aku boleh datengin kamu?" Dhysta terkekeh hambar. "Dulu kamu nggak kayak gini, Raf."
Raffa menggeleng pelan, sebelum memutuskan untuk berdiri. Alih-alih mengusap puncak kepala perempuan itu dan memberinya senyum hangat, ia malah berkata, "Kalo gak ada yang penting, kita ngobrol di luar aja."
Dhysta tampak enggan selama beberapa saat. Kakinya tidak bergerak barang sejengkal pun tatkala Raffa sudah berdiri di ambang pintu. Mata laki-laki itu yang tajam dan dingin menyiratkan kata 'ayo' dengan paksa.
"Dhysta."
Setelah tiga detik diberi tatapan menusuk, barulah Dhysta bergerak keluar.
Ada yang salah sejak awal.
Ada yang salah dengan cara mereka memulai.
Raffa sadar jelas akan hal itu, begitu juga dengan Dhysta. Dan mereka tidak bisa merobek atmosfir yang mendadak canggung dan kaku ketika mereka duduk berdua di ruang tengah. Mereka tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang bisa menghangatkan dan melegakan hati.
"Kamu masih marah?" Dhysta nyaris berbisik ketika menanyakan hal itu.
Raffa tidak buru-buru menjawab, melainkan memberi jeda selama lima detik setelah kalimat itu terlontar. Lima detik yang rasa-rasanya begitu hening dan mencekik.
"Aku gak marah," jawabnya dengan suara dingin. "Atau setidaknya, belum marah."
Mata Dhysta terpejam sesaat. "Maaf."
"Untuk apa?"
"Untuk–" Kerongkongan perempuan itu serasa tercekat. "–untuk kata-kata aku tadi siang."
Raffa tersenyum miring. "Gak perlu minta maaf," sahutnya dengan nada santai yang entah kenapa mematikan. "Satu hal baik dari omongan kamu; aku jadi tau diri kamu yang sebenarnya."
Dhysta menggeleng, air mata nyaris meluruh dari kelopak. Wajahnya benar-benar putus asa; bukan karena sikap Raffa, melainkan karena sikapnya sendiri yang ternyata berakibat fatal. Sebab kata-kata yang sudah ia ucapkan tidak akan bisa ditarik kembali.
"Please, Raf, aku cuma emosi dan kelepasan. Sama sekali gak serius saat ngomong itu."
"Okay." Satu kata dari Raffa yang membuat bibir Dhysta bungkam. "But, still, I'm done with you. No. We are done."
***
Awan mendung baru saja menyisih, hingga matahari sore bisa bersinar cerah. Wajah murung dari bocah-bocah yang tidak bisa bermain keluar rumah perlahan sirna, tergantikan dengan antusias tinggi. Taman kecil yang berada di tengah kompleks segera saja ramai, diisi canda-tawa dan kaki-kaki yang berlari semangat.
Di pojok taman, di bawah pohon mangga yang sedang sepi buah, duduk seorang gadis sepuluh tahun. Rambutnya dikepang rapi, menunduk menatap tanah coklat yang menjadi tempatnya bertumpu. Sebuah gundu terletak tak jauh dari telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...