Sedari awal, kamu memang tidak pernah ditakdirkan untuk menetap.
***
Bising di sekelilingnya seolah meredam ketika suara dari dalam aula terdengar. Gilang berhenti tepat sebelum tangannya meraih handle pintu. Langkahnya tiba-tiba meragu. Ia terdiam selama beberapa saat, sebelum mengambil dua langkah mundur dan menyandarkan tubuhnya pada tembok.
Suara Rena terdengar samar-samar, namun Gilang mendengarnya seolah gadis itu ada tepat di sampingnya. Ia memejamkan mata, membayangkan bagaimana ekspresi Rena saat ini. Mungkin gadis itu gugup. Mungkin gadis itu menghindari tatapan keramaian. Mungkin gadis itu berusaha tersenyum meski canggung. Segala kemungkinan ini di kepalanya—dan tak satupun Gilang tahu yang mana yang pasti.
Secarik kertas yang ia berikan pada Rena adalah penentu akhir dari ceritanya nanti. Ia sudah menetapkan hati. Ia tak bisa berjalan balik. Ia tak boleh menengok ke belakang. Ia harus berjalan ke depan.
Ia harus merelakan apa yang harus ia relakan.
Lagi. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Satu napas ditarik. Gilang tersenyum tipis.
Ia melangkah meninggalkan tempatnya.
Suara Rena masih terdengar seiring tubuhnya menjauh, tetapi satu yang ia tahu; Rena melakukan penampilannya dengan amat baik.
Gilang tidak perlu melihat untuk mengetahui hal tersebut.
***
Koridor itu sepi. Raffa berjalan sendiri. Tangannya dilesakkan ke dalam saku celana. Kepalanya menunduk seolah sedang menghitung langkah; satu, dua, tiga. Ia berhenti tepat di depan kelas. Kemudian pandagannya beralih pada pemilik sepasang sepatu yang berada tepat di hadapannya.
Raffa mengangkat wajah, kemudian mundur selangkah.
"Sorry?" Alisnya terangkat. "Lo ngalangin jalan."
Dari semua murid di sekolah, Gilang adalah orang terakhir yang ingin Raffa temui.
Laki-laki itu tampak berbeda dari pagi tadi. Matanya memperhatikan Raffa dengan cara aneh sebelum menggeser tubuhnya dan mempersilakan Raffa masuk. Ia kemudian hanya berdiri di sana; menyandarkan tubuh di pintu kelas sedangkan Raffa langsung berjalan ke tempat duduknya.
Sungguh atmosfir yang membuat Raffa jengah. Maka ia buru-buru mengambil keperluannya sebelum hendak berjalan keluar kelas lagi. Tapi Gilang menahan.
"Apa?" Raffa mundur ketika Gilang memegang bahunya. Seingat Raffa, mereka tidak seakrab ini.
Gilang tersenyum tipis. "Ada banyak hal yang mau gue omongin."
Bulu roma Raffa berdiri. Pasalnya, Gilang menatapnya dengan amat serius, dan ia langsung membayangkan seribu skenario paling absurd. "Ngomong apa?"
"Soal Rena."
Raffa menurunkan tangan Gilang dari bahunya. "Oh ya, lo temennya ya."
"Iya, gua temennya," sahut Gilang cepat, dengan penekanan di kata terakhir, yang sepertinya tidak Raffa sadari.
"Mau ngomong tentang apa?" Raffa bergerak menuju meja paling dekat dan duduk di atasnya. Santai, santai, katanya dalam hati. Ada sesuatu yang baru Raffa sadari saat itu; ia sudah terlalu lama tidak berinteraksi orang-orang baru. Ia terlalu lama bergumul dengan masa lalu, hingga saat seperti ini... entah mengapa terasa canggung. Padahal Gilang terlihat amat santai, meski sesuatu tampak mengganggu pikirannya.
Gilang masih pada posisinya bersandar pada pintu, tangan dimasukkan ke saku celana, bibir tersenyum tipis. "Lebih tepatnya sih, gue mau minta tolong."
Raffa tidak menjawab, alih-alih menunggu Gilang melanjutkan kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
R untuk Raffa
Teen FictionAda tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah mengkhianati. Tapi malam itu, di bulan November keempat belasnya, Rena sadar. Bahwa fana adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsika...